Oleh: Triyo Handoko
PIRAMIDA.ID- Jauh sebelum menulis Petualangan Tom Sawyer dan Huckleberry Finn yang mengkritik kebijakan dan tingkah-polah politisi Amerika dengan sindiran penuh humor, Mark Twain telah melakukannya dalam laporan-laporan jurnalistiknya. Sebagai reporter Territorial Enterprise, liputannya selalu mengundang kegaduhan penguasa dan hiburan bagi pembacanya. Jurus-jurus satire subversif yang dimilikinya, tulis Joseph B. McCullough, mempengaruhi bagaimana membuat pelaporan yang mengundang gelak tawa audiens Amerika hingga hari ini.
Jurus Mark Twain ini mengingatkan saya pada apa yang pernah dilontarkan Oscar Wilde: “untuk menyampaikan kebenaran, Anda perlu membuat orang tertawa. Jika tidak, mereka akan ingin membunuh Anda.” Apalagi jika seorang pewarta ingin mengabarkan kenyataan pahit, menyampaikannya lewat ironi yang bisa membuat orang menertawakan keadaan, membuat mereka lebih mudah memahami. Selain itu, mengajak orang tertawa, juga berarti mengajak orang mengeluarkan keresahannya.
Model pemberitaan yang menekankan pada penggunaan ironi, sindiran, humor sarkastik untuk mengajak pembaca mengkritisi situasi dengan cara menertawakannya ini disebut jurnalisme satire. Model ini jadi ujung tombak untuk menjangkau audiens pada tema-tema kritis tapi cenderung membosankan, terutama menyampaikan berita politik kepada audiens apolitis.
Sayangnya, jurnalisme satire masih dipandang setengah mata. Bahkan nilai jurnalismenya dipertanyakan sebagai bentuk pelaporan. Dari dilabeli sebagai sumber hoax hingga merusak demokrasi karena dianggap hanya berisi olok-olokan saja. Padahal, berbagai platform jurnalisme satire telaten memeriksa fakta—seperti yang dilakukan Satiro di Bosnia, hingga paling terdepan mengabarkan secara independen di negara otoriter—seperti Al Hadood di Timur Tengah.
Di Indonesia platform jurnalisme satire termuktakhir adalah Kroco TV. Salah satu kontennya membahas soal UU ITE, satire yang dibawakan membuat kita berpikir ulang dan makin kritis soal UU ITE. Bagaimana tidak, ternyata tersandung UU ITE adalah “pengalaman berharga” yang bisa dicantumkan dalam CV untuk melamar pekerjaan yang sekarang serba siber. Sementara informasi kasus-kasus yang dapat dicontoh agar bisa kena UU ITE ditampilkan secara menghibur melalui ramalan zodiak.
Hibridisasi Jurnalisme dan Satire
Interaksi antara jurnalisme dan satire telah berlangsung lama. Pada era modern, interaksi ini ditandai melalui program That Was the Week That Was produksi NBC yang tayang pada 1965-1966. Jason T. Peifer dalam makalahnya menyebut sejak itu bermunculan program TV serupa, seperti The Daily Show (TDS) yang siaran pertama 1996 hingga bertahan sampai sekarang dan jadi percontohan berbagai negara. Interaksi terjadi karena keduanya sama-sama mencoba untuk memahami realitas sebagaimana adanya.
Sekalipun ketegangan antara jurnalisme dan satire signifikan — misalnya, jurnalisme teguh pada objektivitas berdasarkan fakta sedangkan satire bersandar pada subjektivitas berlandaskan emosional — bukan berarti keduanya tak bisa bertemu. Pasalnya, satire melalui perangkatnya, seperti ironi, hiperbola dan imitasi, dapat memotong putaran kekeliruan, penipuan, dan representasi yang salah untuk menyoroti keadaan tertentu sebagai mestinya seperti kerja jurnalisme. Hal ini memungkinkan konvensi satire dalam jurnalisme seperti yang dilakukan TDS, dimana menurut Peifer bentuk program tersebut adalah sindiran yang diinformasikan.
Peifer menyebut bahwa berita satire juga menjadi strategi pemberitaan yang dapat diterima baik oleh audiens. Di tahun 2000, Pew Research Center merilis laporan sebagian besar penduduk Amerika di bawah usia 30 mempelajari kampanye presiden dari informasi yang diberikan program berita satire, seperti TDS. Dikuatkan lagi oleh laporan Pew tahun 2004 yang kembali menyoroti tren tersebut, dilaporkan bahwa kaum muda Amerika berpaling dari sumber berita tradisional, dan semakin banyak mengumpulkan informasi kampanye presiden dari berita satir.
Dari penerimaan audiens, berita satire semakin menunjukkan hubungan hibrid jurnalisme dan satire. Penelitian Sara Odmark (2020) di Finlandia dan Swedia pada 16 tim utama dari empat program berita satire menunjukan adanya internalisasi nilai kerja jurnalisme yang mereka lakukan. Internalisasi yang terjadi menjadikan substansi informasi sebagai prioritas utama tayangan dengan mematuhi prinsip faktualitas, relevansi isu, dan independensi.
Soal independensi, program berita satire Finlandia dan Swedia menjunjung tinggi prinsip imparsial. Ditunjukan dengan selalu memeriksa kritik yang diajukan agar mengenai semua spektrum politik yang ada, supaya audiens mendapat akuntabilitas pembeitaan yang tidak tembang pilih. Pemenuhan nilai-nilai jurnalisme dalam berita satir, temuan Sara Odmark, karena tim produksinya memiliki latar keilmuan dan pola kerja yang sama dengan jurnalisme.
Lebih dari Komedi, Memicu Daya Kritis
Satire yang digunakan dengan baik dalam pemberitaan dapat mengkomunikasikan kebenaran, menantang tabu, sekaligus menghibur audiens. Dibanding bentuk berita konvensional yang berwajah serius, berita satire lebih menarik dan mudah diakses. Profesor Komunikasi Loyola University, Amy Becker menulis bahwa konsumsi konten berita satire pada audiens muda membuat mereka semakin mengikuti perkembangan isu sosial kontemporer, mendalami informasi, dan mengingat fakta untuk bahan argumentasinya.
Tak hanya itu, paparan berita satire di kalangan muda membuat mereka tergerak berpartisipasi dalam kegiatan politik untuk menyuarakan permasalahan yang ada. Penelitian Ohio State University 2017 pada 146 partisipan menunjukan mereka yang apolitis lebih menikmati berita satire. Mereka yang apolitis juga tergerakan oleh berita satire untuk lebih memahami permasalahan yang dipaparkan.
Sehingga, berita satire terbukti lebih membangun rangsangan untuk berpikir kritis. Rangsangan yang dihadirkan berbeda dari bentuk jurnalisme konvensional yang cenderung tekstual. Berita satire bekerja dalam mode intertekstual, dimana jaringan teks di luar konteks yang dimiliki audiens memiliki peran utama untuk membentuk makna dari informasi yang dipaparkan berita satire. Akibatnya, berbagai makna sesuai keragaman audiens bisa muncul dari satu konten berita satire yang sama.
Untuk itu, produser berita satire berkewajiban mengarahkan intertekstualitas kontennya agar memberikan pemahaman yang sesuai. Berbagai contoh platform berita satire telah membuat panduan produksi untuk meminimalisasi kekeliruan yang dapat dialami audiens. Seperti yang dilakukan Al Hadood dengan 11 prinsipnya, dimana meletakan substansi informasi diatas lelucon.
Melampaui Berita Palsu
Tak bisa dipungkiri bahwa salah satu tantangan jurnalisme hari ini adalah berita palsu yang dapat berbiak dengan mudah. Sedangkan berita satire dengan intertekstualitasnya rentan menimbulkan kekeliruan informasi pada audiens. Tapi, melabeli berita satire sebagai berita palsu tentu bukan hal yang bijak. Pasalnya keduanya berbeda, penelitian University of Maryland 2018 yang menganalisa konten berita palsu dan berita satire menunjukan mode produksi yang berbeda dan mudah dikenali.
Jika berita satire mengandalkan cerita faktual yang dikemas agar mencapai tingkat hiperbolis, imitatif, atau ironis tertentu untuk mengekspos permasalahan yang ada, berita palsu dibuat dengan niat yang disengaja untuk menyesatkan dan pada dasarnya bersifat menipu audiens. Namun bukan berarti berita satire tak memungkinkan kesalahan, umumnya kesalahan terjadi karena menyajikan fakta dalam konteks yang tak sesuai sehingga memunculkan interpretasi yang keliru dan rentan dipercayai sebagai kebenaran.
Untungnya, audiens kini dapat menavigasi dirinya sendiri untuk mengenali berita satire. Melalui fitur yang disediakan, Facebook dan Google telah menandai berbagai platform jurnalisme satire sehingga memungkinkan audiens untuk menikmati berita satire tanpa tertipu. Kondisi ini harusnya dimanfaatkan media untuk berinovasi mengembangkan kontennya agar terus relevan dengan keberagaman audiensnya.(*)
Triyo Handoko belajar menulis di LPM Ekspresi. Meminati kajian media dan budaya. Tulisan pertama kali terbit di Remotivi di bawah lisensi Creative Commons.