PIRAMIDA.ID- Seberapa familier Anda dengan joki atau jasa penggarapan tugas kuliah di lingkungan pendidikan tinggi?
Menurut beberapa studi, banyak mahasiswa tidak terlalu paham apa yang sebenarnya dimaksud dengan plagiarisme. Beberapa malah melakukan praktik-praktik yang kurang jujur dalam mengerjakan tugas. Di internet ada banyak sekali posting yang menawarkan jasa penulisan esai untuk berbagai topik, dan dengan harga yang masih masuk akal.
Tapi, jika mahasiswa mendapat penghargaan atau nilai untuk kerjaan yang bukan karya mereka, kualifikasi akademik seakan menjadi tidak bernilai. Ini juga bisa menggerus kepercayaan kita terhadap kualitas lulusan perguruan tinggi.
Suatu studi lawas yang pernah dilakukan dosen bisnis asal Inggris, Bob Perry, mempelajari seberapa parah dan apa saja alasan yang mendorong praktik curang ini di antara 355 mahasiswa sarjana dan 122 mahasiswa pasca-sarjana di suatu kampus. Ia menemukan bahwa 14% mahasiswa sarjana dan 6% mahasiswa pasca-sarjana dalam studi tersebut mengaku pernah mencari jasa joki esai di internet. Sebanyak tujuh mahasiswa bahkan mengaku sudah pernah membeli dan mengumpulkan esai tersebut untuk tugas kuliah.
Saya ragu bahwa dosen di universitas selalu bisa mendeteksi esai pesanan seperti ini. Program seperti Turnitin hanya mencari kesamaan dengan sumber publikasi lain, sehingga belum mampu “menangkap” tulisan pesanan yang dihasilkan seseorang yang bekerja di balik layar.
Meski dosen bisa saja menuding seorang mahasiswa yang mereka rasa memakai jasa joki, pada kenyataannya praktiknya tidak semudah itu.
Bisa jadi, dosen memandang suatu karya punya kualitas yang jauh lebih baik dari kapasitas mahasiswa yang mengumpulkannya. Misalnya suatu karya mengandung gaya bahasa yang ciamik dan jarang ditunjukkan mahasiswa penulisnya – lalu sang dosen menuduh mereka telah melakukan plagiasi atau memakai joki. Namun, saat menyampaikan ini ke mahasiswa, sehati-hati apapun dosen bertutur kata, omongan mereka bisa jadi terdengar seperti “kok Anda ternyata pintar”, atau “saya mengira Anda bodoh”.
Ini sama sekali bukan hal yang ingin saya katakan pada mahasiswa saya.
Lalu, jika kita punya dugaan bahwa beberapa mahasiswa memakai joki, tapi kita tidak bisa membuktikannya, apa hal realistis yang bisa kita lakukan? Berikut tiga rekomendasi saya.
1. Langkah preventif
Pertama, menggunakan metode-metode yang memastikan mahasiswa benar-benar menulis sendiri tugas mereka.
Tradisi klasik ujian lisan, di mana mahasiswa menunjukkan pemahaman mereka terkait materi, bisa jadi menangkap basah mereka yang mengandalkan joki. Tapi, dosen butuh waktu yang lama untuk menyelenggarakannya, kemudian menilai satu persatu ujian lisan dari ratusan mahasiswa. Bagi dosen yang mengajar kelas yang besar, solusi ini kurang praktis.
Sebagai alternatif, sebagaimana yang diusulkan Bob Perry, dosen bisa merancang tugas yang menihilkan peran joki. Saya membayangkan beberapa contoh.
Misalnya, tugas tersebut dapat melibatkan proyek praktik yang lebih banyak, di mana mahasiswa melakukan serangkaian kerjaan yang relevan dengan mata kuliah. Dalam mata kuliah kewirausahaan, tugas bisa berupa mendesain dan menjalankan acara amal sebagai bagian dari modul bisnis.
Namun demikian, tidak semua materi cocok dibawakan atau diuji dengan cara seperti ini mengingat keterbatasan waktu, kesempatan, atau sumber daya.
2. Hindari esai tradisional
Kedua, berhentilah memberikan penugasan individual yang bersifat tertulis. Ganti saja dengan metode penilaian yang tidak mudah diselesaikan oleh jasa joki.
Tugas kelompok, di mana mahasiswa bekerja secara kolaboratif untuk menghasilkan esai, laporan, atau karya unik lain juga bisa jadi opsi.
Menghapus tuntutan untuk menghasilkan karya yang seragam, ataupun mengurangi rasa khawatir mahasiswa karena mengerjakan karya tersebut seorang diri, harapannya bisa membuat mereka berhenti memikirkan jasa joki sebagai opsi.
Tujuan akademik mahasiswa juga punya peran penting.
Riset saya bersama beberapa kolega menemukan bahwa mahasiswa yang mengaku gemar belajar lebih suka dimasukkan ke kelompok dengan mahasiswa lain yang tidak mereka kenali. Sementara itu, mereka yang lebih ingin mengejar nilai lebih menyukai berada dalam kelompok berisi orang yang mereka kenal.
Berbekal hal ini, kita bisa mencoba meyakinkan mahasiswa bahwa cara terbaik untuk belajar dan mendapat nilai tinggi adalah untuk bekerja sama dalam tim dan menghindari joki.
Tetap saja, ujian tertulis mungkin memang alternatif terbaik untuk mencegah kecurangan – meski beberapa mahasiswa cenderung mendapat skor rendah saat mengikuti ujian. Studi telah menunjukkan bahwa performa mahasiswa dalam menggarap penugasan bisa jauh lebih baik daripada suatu gelaran ujian. Jadi, menggunakan ujian ketimbang penugasan bisa jadi merugikan beberapa mahasiswa.
3. Kolaborasi dosen dan mahasiswa
Ketiga, dan ini adalah opsi yang paling saya sukai, dosen bisa lebih turun tangan dalam garapan mahasiswa mereka.
Dosen bisa merancang asesmen yang mencerminkan kolaborasi penugasan antara guru dan murid. Contoh yang bagus adalah semacam disertasi akhir atau proyek riset yang dihasilkan mahasiswa di bawah pengawasan dan arahan pembimbing.
Jika dosen menghabiskan lebih banyak waktu untuk membantu mahasiswa mengembangkan ide-ide, menyusun argumen, dan mengarahkan riset, maka dosen bisa lebih meyakini bahwa karya akhir tersebut memang hasil kolaborasi antara mereka dan mahasiswa.
Tantangannya adalah mencari mata kuliah dan waktu yang tepat untuk memberikan penugasan semacam ini.
Solusi-solusi ini tentu tidak sempurna. Beberapa di antaranya lebih tepat diterapkan pada konteks-konteks tertentu saja. Namun, patut diingat, lawan kita adalah joki. Jika kampus ingin meyakini kredibilitas lulusan mereka, maka mereka harus segera melakukan sesuatu.(*)
Source: The Conversation