Oleh: Martin Nababan*
PIRAMIDA.ID- Situasi demokrasi Indonesia saat ini apabila dilihat secara kasat mata akan mempertunjukan perkembangan dalam beberapa tahun periode kepemimpinan presiden Jokowi.
Namun apabila ditelisik lebih jauh dari isu islamisme dan bangkitnya radikalisme yang mengira aspirasi dari gejolak tersebut merujuk kepada perubahan Indonesia menjadi negara Islam dan membuat Indonesia menerima syairah Islam sebagai dasar hukumnya yang membuat UU Ormas seolah-olah disahkan hanya untuk menghentikan laju dari perlawanan ormas HTI terhadap pemerintah hari ini, meski hanya sebagaian masyarakat yang memandang hal ini adalah sebagai dari kekeliruan dalam hal penyampaian pendapat di muka umum.
Dikutip dari pandangan Thomas Power salah satu penulis buku “Demokrasi di Indonesia dari Stagnasi ke Regresi” yang juga dosen di Universitas Sidney, melihat ada tiga faktor yang membuat demokrasi Indonesia mengalami regresi atau penurunan. Yang pertama, masalah lawfare, yaitu penyalahgunaan hukum oleh aktor politik untuk tujuan politik, melemahnya perlindungan HAM kepada masyarakat ataupun organisasi yang dianggap menjadi pihak oposisi, seperti kasus Haris Azhar, Dandhy Dwi Laksono dan masih banyak kasus yang dinilai merusak citra HAM di dalam menyampaian pendapat.
Kedua, banyak aparat penegak hukum berpihak kepada pemegang kekuasaan terutama politisi partai politik dalam penangan kasus yang terjadi. Ada penurunan penanganan kasus KPK yang melibatkan politisi pemerintahan hari ini, jarang ada kasus hukum kepolisian atau kejaksaan yang menyangkut orang atau parpol yang berkoalisi dengan pemerintah hari ini dan tidak menutup kemungkinan di kemudian hari KPK digunakan untuk untuk menyasar orang orang yang kontra secara politik dengan pemerintah.
Ketiga, banyak manipulasi atau perubahan aturan hukum yang membuat penuhnya kekuasaan eksekutif, sebagai contoh aturan yang mengatur bahwa partai politik mendaftar melalui Kementerian Hukum dan HAM yang mempermudah pemerintah mengendalikan partai politik dan contoh kasus Kelompok kelompok separatis di Papua yang dianggap sebagai teroris dalam hal ini terjadi kesalahan penempatan aturan terkait terorisme, sehingga langkah pemerintah melakukan tindakan represif mengirim angkatan bersenjata bukannya melakukan pendekatan secara humanis.
Kemudian desas-desus munculnya wacana presiden tiga periode yang dinilai melukai konsitusi dan tidak menghargai perjuangan mahasiswa dan seleruh elemen masyarakat pada saat menurunkan rezim Orba dari kekuasan kediktatoranya, tidak menutup kemungkinan wacana presiden tiga periode mungkin terjadi di tengah banyaknya oknum yang mencoba mengubah mindset masyarakat akan kepemimpinan presiden hari ini tidak ada yang patut dikritisi dan genggaman politik pemerintah hari ini hampir absolut baik di lembaga legislatif dan eksekutif, seperti pernyataan Menkopolhukam, Mahfud MD ketika para malaikat masuk ke dalam sistem politik Indonesia, berubah menjadi iblis.
Adalah hal yang akan membuka tabir menurunnya demokrasi di Indonesia jika wacana tiga periode terjadi, kenapa demikian? Dalam Pasal 7 UUD tentang masa jabatan presiden dan wakilnya jelas konstitusi kita mengatur periode kepemimpinan presiden dibatasi hanya dua periode dan apabila amandemen dilakukan hanya untuk mengubah keperiodeaan kepempinan presiden yang akan membuat kekuasan tersebut dilindungi oleh konstitusi hanya untuk mempertankan jabatan.
“Kekuasaan seorang presiden sekalipun ada batasnya. Karena kekuasaan yang langgeng hanya kekuasaan rakyat. Dan di atas segalanya adalah kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa.” Seokarno~.
Kita sebagai masyarakat harusnya sadar bahwa konstitusi yang mengatur batasnya periode presiden adalah hal yang wajar agar kelak di kemudian hari tidak timbul kesenjangan demokrasi dan tetap menjaga kestabilan berdemokrasi di Indonesia dengan cara tetap menjaga hak-hak seseorang ketika menyampaikan pendapat, baik itu di muka umum dan di media sosial.(*)
Penulis merupakan Sekretaris GMKI Cabang Tarutung.