Kristian Silitonga*
PIRAMIDA.ID- Siang jelang sore itu saya sedang nongkrong menikmati kopi dan ngobrol bareng teman di salah satu warung kopi di pojok kota yang sering disebut “Indonesia mini” itu. Merayakan rutinitas kebersamaan dalam suasana tahun baru Imlek beberapa hari lalu.
Ya, jauh sebelum konsep politik kebhinnekaan itu ada, kita telah menang sudah sangat beragam. Bahkan dibentuk dari, oleh dan untuk keberagaman itu sendiri. Walau akhir-akhir ini seolah terasa kekayaan dan keberagaman masa lalu itu berangsur-angsur hilang.
Di era teknologi dan dunia tanpa batas saat ini kita semua seperti terhubung dan tersambung satu sama lain. Namun, di sisi lain pada saat yang sama kita juga seolah-olah terasing dan terpisah satu dengan yang lain.
Lompatan peradaban dengan semesta algoritma sosial, politik, ekonomi bahkan kebudayaannya demikian memudahkan kita untuk membangun relasi dengan sesama lainnya tanpa sekat dan batas, tapi sekaligus memfasilitasi hadirnya kerapuhan dan retakan relasi oleh aneka perbedaan dan ketidaksamaan pandangan maupun keyakinan. Relasi keseragaman justru memasung keberagaman.
Akhir-akhir ini kita cenderung merasakan betapa perbedaan itu sangat dipermasalahkan sekarang. Seolah kita kembali berjalan mundur ke belakang, bahkan mulai “membongkar ulang” hal-hal yang semestinya sudah selesai dan final dalam bangunan dan tradisi kebangsaan.
Semua hal cenderung digoreng dan dipersoalkan sekaligus dipolitisasi oleh kepentingan dan ego kelompok masing-masing. Kembalinya perbincangan soal toleransi dalam pengertiannya yang luas sesungguhnya bagian dari kekhawatiran kita tentang itu semua.
Di masa sekarang ini kita seolah terbiasa dan sering tergelincir kedalam jurang berpikir dikotomis (dichotomous thingking). Yang ada hanya; kita – mereka, kawan – musuh, benar -salah, hitam – putih, halal – haram, cebong – kampret, keyanikanku – keyakinanmu, surga – neraka, partai kami – partai mereka dan aneka kerangka pikir yang cenderung menghadirkan keterbelahan satu sama lain.
Lihat saja akhir-akhir ini perdebatan dan diskursus sosial politik, ekonomi, dan kebangsaan kita misalnya kerap dijejali dengan kerangka pikir dan jebakan “oposisi binner” yang seolah saling menegasikan itu. Mulai dari persoalan-persoalan kebangsaan yang serius dan penting sampai hal-hal yang remeh temeh, kering, dan dangkal.
Lihat saja, tatanan global sedang dan sibuk mempersiapkan kebijakan mengatasi pandemi Covid-19 dan jurang resesi ekonomi, kita malah sibuk membahas seragam dan atribut sekolah misalnya, kawin-cerai publik figur atau hal-hal yang kurang begitu relevan lainnya.
Makanya tidak perlu heran jika dalam menghadapi era pandemi dan resesi ekonomi saat ini, kita akhirnya sering terpeleset untuk mempertentangkan satu sama lain kebijakan pemulihan ekonomi atau penanganan kesehatan (pandemi) yang mesti diutamakan.
Termasuk soal bersedia untuk mengikuti vaksinasi atau tidak? Bayangkan, hari sudah sesiang ini, kita masih berkutat di persoalan-persoalan seperti itu. Padahal itu kebijakan yang cenderung keliru karena keduanya semestinya sama penting dan saling terkait satu dengan yang lain.
Kebijakan yang dibutuhkan justru harus lahir dari sinergi dan kolaborasi kedua aspek itu untuk menghadirkan kebijakan yang komperhensif dan berkelanjutan yang menyentuh seluruh aspek.
Ya, kita memang semakin tidak terbiasa pada pilihan alternatif dan aneka kemungkinan dan terobosan kebijakan. Semua dikunci dan direduksi pada pilihan sikap dan kebijakan hitam-putih (dikotomis) seperti itu.
Kita seperti terlempar keluar dari ruang waktu, sejarah dan tradisi luhur nusantara yang begitu beragam dan eksotik itu. Sejarah yang mencatat betapa begitu kaya dan agungnya kita mengelola dan menikmati aneka sumber daya alam dan kepelbagaian tradisi yang saling membentuk dan memperkaya satu sama lain menjadi sebuah bangsa besar.
Belakangan ini semua hal dan perbedaan seolah dipermasalahkan dan diributkan serta dipersoalkan keabsahannya. Seolah tidak ada lagi alternatif pilihan dan perbedaan yang justru akan memperkaya pandangan atas keberagaman dan kebinekaan yang mempesona dan luhur itu.
Akibatnya masyarakat cenderung terbelah nenjadi dua kubu yang selalu berseberangan seperti diurai di atas yang pada titik tertentu bisa jadi membahayakan. Kita semakin eksklusif dan menjauh dari sikap inklusif.
Toleransi di sini juga cenderung dimaknai secara keliru dan sungsang. Toleransi tidak mengajak kita untuk membangun persamaan dan keseragaman. Namun justru memandu kita untuk memahami dan menghayati perbedaan dan keberagaman itu sendiri.
Dengan kata lain toleransi hadir dan dibutuhkan justru karena realitas keberagaman itu. Dalam bangunan keseragaman dan ruang kesamaan, Anda justru tidak membutuhkannya. Saya dan Anda tidak harus sependapat dan satu keyakinan untuk dapat disebut toleran.
Namun, kemampuan saya dan Anda untuk menerima dan menanggung semesta perbedaan itulah yang justru akan menghadirkan toleransi yang penuh hikmat dan rasa saling menghormati antar sesama. Bukankah perbedaan dan keberagaman itu kodrat manusia dan semesta itu sendiri.
Sejauh ingatan saya teringat ungkapan bijak ini; “Dunia yang dibangun dengan hasrat keseragaman dan nafas kesamaan adalah tempat di mana kita tidak bisa belajar apapun”. Unity in Diversity!
Hal itu sejatinya simpel dan sangat sederhana, kita saja yang seringkali membuatnya rumit.
“Sudah hampir magrib, saya mau sholat dulu, bro,” ucap kawan ngopi di sebelah.
Saya mengangguk dan tersenyum, kami pun berpisah dan saling melambaikan tangan satu sama lain usai “merayakan kebersamaan dalam perbedaan” di sore hari itu.
Duh, sejuk!(*)
Penulis merupakan pengasuh di rubrik Sopolitika.