Nico Nathanael Sinaga*
PIRAMIDA.ID- Salah satu peristiwa paling fenomenal dalam sejarah Vietnam adalah aksi bakar diri hingga mati, yang dilakukan oleh salah seorang biksu Buddha Vietnam, bernama Thich Quang Duc, pada tanggal 11 Juni 1963, di Kota Saigon (sekarang Ho Chi Minh).
Peristiwa tersebut merupakan wujud protes atas tindakan diskriminatif dan penindasan terhadap mayoritas umat Buddha, yang dilakukan oleh sang diktator Ngo Dinh Diem, presiden pertama Republik Vietnam (Vietnam Selatan) pada saat itu.
Tersebutlah nama seorang jurnalis “Perang Vietnam” sekaligus fotografer asal Amerika, bernama Malcolm Browne yang berhasil mengabadikan kejadian bakar diri tersebut, melalui tangkapan kamera kodak miliknya. Foto grafis milik Browne itu kemudian menjadi sarana penting dalam menarik simpati dunia atas apa yang terjadi di Vietnam, yang berujung pada penggulingan rezim Ngo Dinh Diem.
Hingga sekarang, foto legendaris tersebut menjadi satu-satunya penanda atas tragedi tersebut. Thich Quang Duc menjadi dihormati dunia karena tindakan bunuh diri religiusnya.
Tiga dekade berikutnya, salah seorang pemuda asal Amerika dengan kemampuan musik yang mumpuni, berniat untuk membentuk sebuah grup band musik, yang akan mewakili cita-cita politiknya di kemudian hari. Pemuda tersebut adalah Tom Morello. Bersama dengan salah seorang Rapper bernama Zack De La Rocha, serta dua orang lainnya, yakni Tim Commerford dan Brad Wilk, tim kuartet sempurna ini kemudian berhasil menentukan arah musik mereka.
Mengutip lagu yang pernah ditulis Zack untuk mantan bandnya—Inside Out, mereka kemudian memberikan nama untuk band tersebut, yaitu Rage Against the Machine atau sering disingkat RAtM. Adapun susunan personil : Tom (Gitaris); Zack (Vokalis); Tim (Bassis); dan Wilk (Drumer).
Kemudian, pada tanggal 3 November 1992, RAtM melalui salah satu label rekaman asal Amerika Serikat, Epic Records merilis album pertama yang memiliki judul sama dengan nama band itu sendiri—Rage Against the Machine. Album ini yang kemudian akan menjadi penanda kesuksesan pertama, yang membuat grup band mereka dikenal dan dianggap sebagai band rock paling penting, serta paling berpengaruh di tahun 90-an.
Jelas saja, pasca rilisnya album tersebut, RAtM berhasil memuncak di urutan ke-1 (pertama) “Chart Heatseekers Album” Majalah Billboard Amerika Serikat dan urutan ke-45 di Billboard 200.
Salah satu lagu yang menjadi hits di dalam album ini, seperti “Killing in the Name” yang ditulis sebagai bentuk protes terhadap adanya ketegangan rasial dan kebrutalan polisi Los Angeles (LAPD) terhadap pekerja konstruksi kulit hitam, Rodney King, pada tahun 1991. Peristiwa ini kemudian berujung pada kerusuhan yang terjadi di tahun 1992, sebagai akibat dari keputusan Juri Pengadilan California, membebaskan empat polisi yang terlibat dalam pemukulan Rodney.
Kerusuhan ini kemudian dikenal dengan “Kerusuhan Los Angeles 1992.” Beberapa singel yang tidak kalah penting, seperti “Bullet in the Head” mengacu pada kelakuan media-media munafik pro-pemerintah dalam memberikan informasi palsu kepada khalayak, dan “Bombtrack” yang mengacu pada pandangan politik RAtM atas pemberontakan Kaum Revolusioner Peru.
Ada sebanyak 10 lagu di album tersebut, semuanya menampilkan pesan politik. Namun sepertinya “Killing in the Name” yang benar-benar mewakili album tersebut. Satu hal yang menjadi bagian paling siginifikan dan tidak kalah menarik dari album ini, tentu saja adalah citra mengejutkan dalam foto sampul album yang mereka gunakan.
Aksi bakar diri Biksu Buddha Vietnam 30 tahun sebelumnya, sepertinya telah menginspirasi banyak orang, termasuk musisi RAtM. Mereka menggunakan gambar fenomenal itu sebagai foto dalam sampul album perdana mereka. Thich Quang Duc menjadi salah satu ikon yang mewakili identitas perlawanan RAtM sejak saat itu.
Selama periode singkat mereka bersama-sama—dalam waktu sembilan tahun—hingga pada tahun 2000 sebelum akhirnya Zack memutuskan untuk keluar dari band, mereka telah berhasil menelurkan 4 Album : Rage Against the Machine (1992); Evil Empire (1996); The Battle of Los Angeles (1999); Renegades (2000).
Hingga sekarang, RAtM dianggap sebagai grup band musik paling revolusioner sepanjang masa. Setelah Nirvana, RAtM bisa dibilang band rock paling penting dan berpengaruh dari tahun 90-an. Sementara Kurt Cobain mengartikulasikan perasaan jutaan orang, Rage Against the Machine mendorong orang-orang yang sama untuk terlibat dan menangani masalah secara langsung melalui aktivisme ekstrem.
Sejatinya, dua entitas penting yang memberikan kharisma kuat dalam kelompok kreatif ini, berada diantara Tom Morello dan Zack De La Rocha. Kedua anak muda ini tumbuh dari tradisi kiri yang sangat kuat. Zack yang merupakan pemuda keturunan Meksiko, lahir dari dari darah kakek, Isaac De La Rocha Beltran, sang pejuang revolusioner Meksiko. Sama halnya dengan Tom Morello, anak tunggal dari ibu keturunan Italia dan Irlandia, serta ayah beretnis Kikuyu dari Kenya. Ayah Tom, Ngethe Njoroge merupakan salah satu partisipan dalam pemberontakan Mau Mau—perlawanan terhadap kolonialisme Inggris di Kenya pada tahun 1952-1956.
.
Morello dan Zack punya pengalaman pahit yang sama sewaktu masa anak-anak hingga remaja. Sebagai dampak dari etnisitas yang mereka miliki, keduanya seringkali mendapatkan perlakuan diskriminatif dari lingkungan sekitarnya. Irvine—tempat kebesaran Zack—salah satu kota di bagian California, digambarkan Zack sebagai kota yang paling rasis yang pernah dia rasakan.
Sama halnya dengan yang dialami Zack, Tom juga mendapat perlakuan serupa di tempat kebesarannya, di Libertyville, Chicago. Kesusahan serupa dialami ibunya sendiri yang sulit mendapatkan pekerjaan, karena menikah dengan pria kulit hitam. Barangkali, sebagian lagu RAtM merupakan deskripsi dari pengalaman pahit yang mereka alami sejak awal.
Aktivisme
Di luar dari keseharian mereka sebagai musisi yang kritis, keduanya juga terlibat aktif dalam kegiatan sosial dan aktivisme 0olitik. Tom merupakan pendiri dari “Axis of Justice,” sebuah grup politik yang diisi oleh musisi-musisi untuk menyuarakan keadilan sosial secara bersama-sama. Dia juga merupakan anggota dari Organisasi Serikat Buruh Internasional “Industrial Workers of the World” atau disingkat IWW, dan senang sekali menyanyikan lagu “Union Song” dalam setiap aksi perayaan “May Day.”
Sementara Zack, paling dikenal karena keterlibatannya dalam mendukung perlawanan yang dilakukan oleh Tentara Pembebasan Nasional Zapatista (EZLN)—kelompok revolusioner bersenjata beraliran Sosialisme-Libertarian Kiri—dalam menolak Neoliberalisme di Meksiko.
Barangkali tidak mengherankan ketika melihat setiap aksi panggung RAtM, kerap kali mereka menampilkan salah satu citra ikonik terkait Sosialisme. Semata-mata ingin menampilkan bendera perjuangan Zapatista, mereka akan memunculkan ikon “Bintang Merah” sebagai simbol perlawanan mereka sendiri. Logo Bintang Merah ini juga sering muncul ketika Tom tampil dengan menggunakan kemeja yang menjadi gaya khasnya. Padahal berbicara tentang sejarah simbol “Bintang Merah” sendiri, tidak pernah lepas dari salah satu ideologi besar di dunia, yaitu Komunisme.
Sementara, untuk sekian banyak bentuk aksi unjuk rasa yang terjadi di Los Angeles, Tom dan Zack merupakan musisi yang tergolong sering untuk ikut serta, serta tidak jarang untuk tampil berbicara memimpin gerakan massa. Bahkan, Tom menjadi dikenal sebagai salah satu pendukung dari “Occupy Movement,” sebuah Gerakan Sosial Politik Progresif Internasional, yang menyatakan perlawanan terhadap bentuk ketimpangan ekonomi dan sosial, serta pengekangan demokrasi di berbagai belahan dunia.
Latar Belakang Pendidikan
Dengan latar belakang sebagai musisi, sekaligus aktif mengkritisi pemerintah, tidak sedikit orang bertanya-tanya mengenai latar belakang pemahaman politik Tom. Barangkali sangat jarang, di mana ada orang yang aktif dan bahkan sukses di bidang musik, bisa sekaligus aktif dalam aktivisme politik. Kedengarannya itu seperti “sok-sokan” belaka. Tom pernah mengalami hal tersebut, di mana ketika dia tidak setuju dengan berbagai kebijakan presiden Amerika Serikat, Donald Trump, dia menyindir lewat tulisan di gitarnya yang menyebutkan : “FU*K TRUMP.”
Melalui akun instagramnya dia buat postingan foto tersebut. Tidak lama kemudian, akun @davez67 memberikan komentar : “Seorang musisi sukses yang secara tiba-tiba terjun ke dunia politik dan menjadi pemerhati politik.”
Bagi penggemar musik RAtM, mungkin sudah banyak yang tahu mengenai latar pendidikan Tom. Salah satu faktor penting yang mempengaruhi kesadaran politiknya adalah riwayat pendidikan Tom sendiri. Siapa sangka, gaya Tom yang jauh dari kesan intelek adalah seorang lulusan terbaik dari salah satu Universitas Terbaik di Amerika Serikat, yakni Universitas Harvard. Untuk gelarnya sendiri, dia lulus dengan gelar Bachelor of Arts dalam Studi Sosial.
Berbekal dari pengalamannya sebagai mahasiswa Ilmu Politik dan latar belakang keluarga yang Revolusionis, membuat Tom dekat pada literasi atau apa saja yang berbau kiri. Seperti di musik misalnya, dia sangat terpengaruh sekali oleh gaya bermusik, Woody Guthrie dan Pete Seeger—Musisi Amerika Radikal berhaluan Komunis. Untuk bacaannya sendiri, Tom aktif dengan karya-karya Karl Marx, Che Guevara, George Orwell, Noam Chomsky, Mumia Abu-Jamal, dan Grant Morrison.
Hingga sekarang, Tom masih tetap memberikan simpati terhadap bentuk-bentuk perjuangan. Pasca bubarnya RAtM, dia bersama dengan Tim dan Wilk membentuk grup band baru bernama “Audioslave” yang menggandeng Chris Cornell.
Hingga yang terakhir, Supergrup Rock bernama “Prophets of Rage.” Sebagai bentuk “alter ego” politik rakyatnya, dia memulai proyek solo dengan nama “The Nightwatchman,” dengan gaya khas genre Folk (musik rakyat), dia akan tampil dengan gitar akustiknya. Dengan proyek solonya ini, aku sendiri justru membayangkan para Jawara Folk seperti, Woody Guthrie, Pete Seeger, dan Bob Dylan.
Terakhir sebagai penutup:
Selamat ulang tahun, Tom Morello (30 Mei 1964 – 30 Mei 2020)!
Penulis merupakan pegiat sosial dan lingkungan hidup.