Budi P. Hatees*
PIRAMIDA.ID- Sejarah tuak dan gula merah bagai anak kembar yang lahir pada hari yang sama. Itu sebabnya, di sebuah daerah penghasil gula merah, bisa dipastikan juga menghasilkan tuak. Tidak jarang, tuak dan gula merah kemudian bertemu dalam sebuah acara adat, di mana tuak jadi minuman dan gula merah disajikan dalam bentuk makanan ringan (kudapan).
Cuma, akhir-akhir ini tuak jadi sesuatu yang dianggap negatif. Minuman tradisional yang kehadirannya nyaris setua peradaban manusia itu, dipandang sesuatu yang buruk dan harus dihindarkan.
Orang-orang menyebut tuak itu “haram” karena termasuk “segala yang dapat memabukkan”. Tapi apa bedanya dengan jabatan, sesuatu yang telah membuat Ferdy Sambo mabuk berat hingga hilang nilai kemanusiaan dan menganggap membunuh Brigadir J sebagai pilihan tepat untukengembalikan kehormatan dirinya. Apa pula bedanya dengan harta yang membuat mabuk dan tak bisa sadar hingga para pejabat melakukan korupsi dan menyebutnya sebagai budaya masyarakat moderen.
Kita gemar memberi cap buruk pada semua yang berbau masa lalu, apalagi bila hal itu diterakan dalam kitab suci, tapi kita selalu memilih bagian yang paling membenarkan diri sendiri dari kitab suci yang kita baca. Kita membaca kisah Qorun, tapi kita hanya menyimak bahwa ada banyak harta karun yang masih tersimpan di bumi, dan bekerja keras untuk menemukannya.
Tuak memang haram jika membuat mabuk dan orang mabuk itu tidak sadar diri. Bagaimana jika tuak dijadikan obat untuk menyembuhkan para penderita diabetes, sejenis penyakit kelebihan glukosa yang jarang ditemukan pada orang yang rutin meminum tuak? Bukankah penyakit dalam kesadaran religi adalah ujian dari Tuhan bagi umat?
Jadi, tuak itu adalah satu dari sekian banyak nikmat yang diberikanNya kepada manusia, dan setiap nikmat yang berlebihan akan menyebabkan kemudaratan.
Simpul ini akan banyak menolaknya, sebab banyak dalil yang bisa direntangkan untuk menentang tuak sebagai salah nikmat yang diciptakan untuk manusia dari sekian banyak nikmat lainnya. Semua nikmat itu hakikatnya untuk ujian ketaqwaan, siapa dari hamba yang paling sanggup untuk lebih mencintai penciptanya.
Hampir semua suku bangsa memiliki tradisi menghasilkan minuman beralkohol. Dia minuman fermentasi, dan fermentasi adalah hasil ilmu pengetahuan. Kemampuan melakukan fermentasi termasuk pengetahuan tradisional. Semua minuman beralkohol hasil pengetahuan tradisional.
Orang Jepang tak akan pernah menghasilkan sake, fermentasi beras, seandainya mereka lahir di Sipirok. Tapi mereka pasti akan menciptakan tuak, fermentasi dari nira pohon aren. Dan orang Makassar jika dia lahir sebagai orang Jepang, sudah tentu tak bisa membuat minuman tradisional dari nira lontar. Artinya, pengetahuan tradisional itu diciptakan manusia untuk memanfaatkam alam disekitarnya guna kehidupannya sendiri.
Begitulah tuak diciptakan manusia. Pada awalnya, masyarakat tradisional pendukung budaya megalitik menciptakan tuak untuk menghilangkan kesadaran (intoksidasi) yang tujuannya untuk melaksanakan upacara. Penghilangan kesadaran ini biasanya diikuti bunyi tetabuhan.
Di lingkungan masyarakat Angkola, ada tradisi gondang dan tortor Sarama. Ini seni yang dilakukan seorang dukun untuk mencapai tras, situasi tak sadar agar dirinya dimasuki kekuatan leluhur. Seorang penari Sarama mengawali dengan minum tuak yang dimasukkan dalam gerigit dan selama menari dia memegang gerigit itu. Ketika kesadarannya hilang, roh leluhur akan masuk, lalu raja-raja adat bertanya tentang segala hal yang penting di bonabulu mereka.
Tanpa tuak, mereka tak akan tahu apa yang akan terjadi di kampungnya. Mereka akan jadi masyarakat yang tak cerdas, yang tak bisa menata kampungnya, yang kemudian akan punah.
Lalu aku ingat seorang kawan yang merasa dirinya super setelah minum tuak. Suatu malam, sepulang minum tuak, kawan itu berjalan kaki lewat jalan sawah. Di tengah jalan, dia menemukan sebatang kayu dan meraihnya untuk tongkat. Ajaib, kayu itu ternyata seekor ular cobra, dan ular itu mematok si kawan. Hari ini, kawan itu hanya tinggal kuburannya.(*)
Penulis merupakan sastrawan dan jurnalis. Banyak menulis esai di berbagai media.