Nezar Patria*
PIRAMIDA.ID- Saya tadinya akan menelepon Tuan untuk mengabarkan di Abad 21, di zaman kami ini, alat yang Anda temukan pada 1875, kini sudah menjadi benda langka.
Dia rupanya sulit bertahan, dan mungkin umurnya kurang dari satu setengah abad saja. Dan mungkin benda yang sedang saya pegang ini adalah evolusi terakhir dari jenis analog yang Anda temukan.
Satu dekade terakhir kami mendapat laporan kematian bilik telepon umum akibat wabah telepon seluler. Laporan itu menyedihkan. Di sejumlah kota, bilik telepon analog ini menjadi sarang burung (Tuan pasti setuju, mereka menyindir manusia yang tak yakin jika burung membawa kabar yang benar).
Kondisi itu masih lebih baik karena banyak juga bilik telepon menjadi toilet darurat bagi para lelaki yang jalannya miring setelah keluar dari kedai minum.
Tuan Bell, saya mengangkat gagang telepon ini dan menikmati nada panjang sebelum tombol nomor ditekan (jauh sebelumnya ia tidak ditekan, tapi diputar dan suara cakram putarannya mirip dengkur halus yang membuat jantung berdegup bagi mereka yang sedang kasmaran).
Nada panjang “tuuut” itu membawa saya kepada kenangan tentang Abad 20 yang penuh guncangan. Bagaimana para pemimpin dunia bertelepon setelah perang dunia kedua, saat kabel transatlantik itu bekerja. Dunia yang bergerak cemas di pasar bursa, kabar penggulingan rezim diktator, kabar tentang bahaya nuklir, ancaman virus Ebola, dan lainnya.
Tentu saja, benda itu bukan cuma milik penguasa dan media massa, tapi juga teman terpercaya bagi siapa saja untuk menyampaikan suara tangisan dari mereka yang diputus cintanya lewat telepon.
Kami memang berterimakasih kepada telepon pintar yang bisa dibawa ke mana saja. Dia setara dengan celana dalam kami, tak boleh ketinggalan, dan siap berada di saku. Kami memuja Steve Jobs menciptakan iPhone (bagi kami dia sejajar denganmu Tuan Bell), dan juga Google menyokong Android, sehingga pekerjaan generasi kami lebih mudah.
Tapi Tuan Bell, saya ingin menelepon untuk mengucapkan terimakasih atas jasa Anda. Wikipedia memberitahukan saya bahwa Tuan menciptakan benda ini salah satunya untuk membantu istri Tuan yang tuli.
Sebagai guru bagi orang-orang tuli, Tuan telah mendapat ilham luar biasa bagaimana listrik bisa menjadi pengantar vibrasi suara. Saya tahu bahwa benda ini Anda ciptakan dengan penuh cinta, dan kabarnya kata pertama dalam membuka percakapan Anda adalah “Ahooy”, lalu entah bagaimana berubah menjadi Hello.
Suara dan Cinta? Ya, Tuan Bell. Di tengah kemajuan teknologi ini, kami sesungguhnya merindukan keduanya. Generasi kami lebih suka mengetik teks lewat aplikasi pembawa pesan ketimbang menelepon. Mereka akan cemas jika ada panggilan yang masuk, karena itu berarti adanya kondisi darurat. Kami punya segudang emoticon dan meme untuk menggantikan suara.
Dan begitulah, kami terancam menjadi generasi yang sulit mendengar, dan mungkin juga tak mau mendengar. Dengan alat itu juga kami mendapat aneka kabar yang berisi kebencian dan kami larut di dalamnya, pesan-pesan yang meminggirkan cinta kepada sesama manusia.
Tuan Bell, saya ingin sekali menelepon Tuan. Saya membayangkan Tuan saat ini sedang berdiri di sebuah bilik telepon umum di suatu tempat, entah di mana. Sendirian. Kesepian.