Luthfi T. Dzulkifar*
PIRAMIDA.ID- Melemahnya perekonomian Indonesia akibat pandemi COVID-19 berdampak buruk terhadap kondisi keuangan perguruan tinggi di Indonesia.
Angka pengangguran yang meningkat dan turunnya pendapatan orang tua mahasiswa – ditambah dengan banyaknya kampus yang belum bisa menjalankan kuliah daring dengan baik – menyebabkan berkurangnya jumlah mahasiswa baru tahun ajaran ini.
Raihan, Rektor Universitas Islam Jakarta (UID) dan juga Sekretaris Jenderal Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (APTISI) Wilayah III di Jakarta, misalnya, memberikan masalah ini dihadapi oleh banyak kampus di Indonesia.
“Jumlahnya bervariasi, yang parah turun mulai 50%-90%,” ujarnya.
Universitas Nasional dan Universitas Islam Djakarta di Jakarta, misalnya, masing-masing mengalami penurunan sekitar 20%.
Raihan menambahkan dampaknya lebih parah lagi terutama pada perguruan tinggi swasta (PTS) dan kampus dengan jumlah mahasiswa yang memang sedikit.
“Kalau saya mengikuti webinar APTISI seluruh Indonesia, akibatnya pada hampir setengahnya [PTS di Indonesia yang mengalami tingkat penurunan mahasiswa lebih dari 50%],” terangnya.
Penurunan ini pada akhirnya menyebabkan berbagai perguruan tinggi mengalami penurunan pendapatan.
Masalah keuangan yang dialami institusi pendidikan tinggi di Indonesia merupakan bagian dari cerminan kondisi yang diderita oleh sektor pendidikan selama pandemi. Banyak sekolah mulai dari tingkat Taman Kanak-Kanak (TK) di daerah rawan COVID-19 mengalami penurunan jumlah siswa dan harus memotong biaya SPP.
Dalam tulisan ini kami berbicara dengan pejabat rektorat di tiga kampus untuk memahami respons bagaimana sektor pendidikan tinggi mengatasi masalah ini.
PTS paling terdampak
Raihan menambahkan dampak pandemi COVID-19 lebih parah lagi terlihat pada perguruan tinggi swasta (PTS) dan kampus dengan jumlah mahasiswa yang memang sedikit.
Hal ini dikarenakan sebagian besar pendapatannya bersumber dari uang kuliah mahasiswa.
“Kalau negeri dia punya dana dari pemerintah juga, sekian persen dari mahasiswa bisa sekian persen dari APBN. Swasta bisa dibilang sumber dana mayoritas dari biaya kuliah mahasiswa,” kata Andrei Ikhsano, Rektor London School of Public Relations (LSPR) Jakarta.
Berdasarkan riset dari Amerika Serikat, banyak PTS kecil di Indonesia juga memiliki dana riset dan pengembangan teknologi pembelajaran yang minim.
“Kalau boleh saya katakan, sebagian [PTS] kapasitas pembelajaran daringnya oke. Selebihnya memiliki kemampuan yang boleh dikatakan terbata-bata, karena kan tidak semua punya LMS [sistem pembelajaran daring],” kata Raihan.
Raihan sendiri memperkirakan ada hampir setengah angka PTS di Indonesia yang mengalami tingkat penurunan mahasiswa baru setidaknya 50%.
PTS menyumbang 3.171 lembaga (sekitar 96% total perguruan tinggi di Indonesia) dan merupakan tempat belajar hampir 4,5 juta mahasiswa (sekitar 64% jumlah nasional).
Berbagai respons dari pejabat kampus
Salah satu langkah bagi kampus untuk meredam dampak tersebut adalah menghemat pengeluaran pembangunan dan fasilitas – renovasi, alat kantor, penggunaan listrik, dan seterusnya.
Namun, Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi di Kementerian Pendidikan, Nizam menjelaskan bahwa biaya operasional fisik hanya menyumbang 5%-10% dari total pengeluaran perguruan tinggi.
“Selama pembelajaran daring, tetap ada cost [dari] dosen [yang] tetap hadir, penilaian berjalan, layanan administrasi berjalan,” kata Nizam.
Studi tahun 2011 dari Asosiasi Universitas Eropa (EUA), misalnya, menemukan bahwa universitas di dunia pada umumnya memiliki porsi pengeluaran untuk sumber daya manusia sekitar 60%-90%.
Oleh karena itu, banyak kampus memilih untuk melakukan penghematan di sektor ini. Universitas Ma Chung di Jawa Timur, misalnya, terpaksa harus memotong tunjangan jabatan untuk tenaga pendidikannya – yang besarannya sekitar 10% dari total pendapatan bulanan.
“Tunjangan jabatan itu dikurangi karena memang kondisinya sedang tidak menguntungkan, karena kami baru mengandalkan pemasukan mahasiswa saja. Jadi ada pemangkasan tapi tidak mengurangi gaji pokok,” kata Patrisius Djiwandono, Wakil Rektor di Ma Chung.
Sebagai gantinya, Ma Chung memangkas hari kerja stafnya dari lima hari menjadi empat hari dalam seminggu dengan shift yang bergantian.
“Ada secara kasar mungkin sekitar 30% berkurang [biaya operasional kampus],” kata Patrisius.
Sementara itu, Andrei mengatakan kampusnya, LSPR memilih membatasi honor transportasi untuk stafnya.
“Kalau dulu kita berikan secara total, sekarang kita hitung hanya kalau masuk kampus atau saat work from home (WFH). Kami rasa itu cukup fair [adil],” katanya.
Namun, Patrisius mengaku bahwa kampusnya sudah mempersiapkan kemungkinan terburuk untuk mengurangi jumlah staf mengingat PTS seperti Universitas Ma Chung memiliki kondisi keuangan yang lebih menantang dibandingkan perguruan tinggi yang besar.
“Sampai sekarang tidak [memecat], baru sebatas peringatan pada mereka yang kinerjanya rendah sebagai satu kode kasarnya kalau kinerjanya seperti ini terus kami tidak bisa mempertahankan kedepannya, apalagi di masa pandemi ini,” katanya.
Mitigasi yang dibutuhkan secara jangka panjang
Mengingat ketidakpastian dari berakhirnya pandemi COVID-19 maupun dampaknya pada pendidikan tinggi, Raihan manghimbau seluruh kampus untuk mulai memikirkan strategi bertahan jangka panjang.
Berdasarkan skenario yang dibuat oleh APTISI, Raihan mengatakan kondisi pandemi ini akan menyebabkan hanya sekitar 60% dari 4.500 kampus di Indonesia yang akan bertahan.
Salah satu strategi yang bisa diterapkan adalah mengembangkan bentuk usaha yang bisa dilakukan yayasan penaung perguruan tinggi setidak tidak bergantung sepenuhnya pada jumlah mahasiswa yang baru.
LSPR Jakarta, misalnya, memiliki menawarkan program ke perusahaan, lembaga, dan kementerian baik training komunikasi, konsultansi, dan lain lain.
“In total, mungkin kalau kita bicara per tahun bisa membantu menyusun hampir 20% hingga 25% dari sumber pendapatan lain [selain biaya kuliah mahasiswa],” kata Andrei.
Patrisius mengatakan kampusnya, Universitas Ma Chung juga mulai merintis hal yang sama – seperti menawarkan kursus bahasa dari Fakultas Bahasa. Ia memproyeksikan keuntungannya baru bisa dinikmati 1 hingga 2 tahun ke depan.
Upaya lain yang bisa menjadi pilihan perguruan tinggi, menurut Raihan, adalah melakukan efisiensi jumlah program studi hingga skema merger PTS.(*)