Pra Noto*
PIRAMIDA.ID- “Engkau sebagai pelita dalam kegelapan, engkau laksana embun penyejuk dalam kehausan, engkau patriot pahlawan bangsa, tanpa tanda jasa.”
Bukan sebuah lirik yang asing di telinga rakyat Indonesia dan saban tanggal 25 November dinyanyikan dengan penuh rasa keheningan mendalam. Mungkin sebagian orang masih menikmati keheningan lirik itu dan menangkap sebuah pesan makna mendalam, atau sebagian lainnya hanya sekedar ikutan bernyanyi dan kemudian lupa mengambil secerca makna perbuatan setelahnya.
Bagaimana tidak, layar kaca belum juga berhenti mengabarkan nasib para guru honorer tentang pemenuhan hak atas jasa-jasa mereka. Loh…!! Bukankah guru telah bernasib pahlawan tanpa tanda jasa? Mengapa menuntut naik gaji?
Pertanyaan itu tentu tidak dapat dijadikan argumentasi dalam melihat fenomena yang terjadi dengan tenaga pengajar honorer di negeri yang begitu subur ini. Sebuah kenyataan bahwa perbedaan perlakuan di hadapan hukum antara guru honorer dan guru pegawai negeri masih terjadi.
Tentu berdasarkan aturan hukum hal ini sah dan terlanjur dilegitimasi, namun apakah nilai pada aturan hukum tersebut telah memenuhi atau setidak-tidaknya mendekati keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia berdasarkan Pancasila?
Jawabannya ada dan tentu masing-masing dari kita mengetahuinya.
Gaji guru dan penghasilan guru adalah sebuah arti yang berbeda berdasarkan UU No 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Di mana gaji diartikan sebagai hak dalam bentuk finansial yang diterima dari penyelenggara pendidikan atau satuan pendidikan secara berkala (Pasal 15), sedangkan penghasilan adalah hak dalam bentuk finansial yang diterima sebagai imbalan yang ditetapkan berdasarkan prinsip penghargaan atas dasar prestasi dan mencerminkan martabat guru sebagai pendidik profesional (Pasal 16).
Mengutip pernyataan Dr. Anthon Freddy Susanto, bahwa undang-undang hanyalah teks yang belum selesai dan bukanlah teks yang sudah final. Intepretasi atas hukum adalah sebuah keniscayaan agar wajah keadilan atas pemberlakuannya dapat terlihat atau didekati. Pada hakikatnya gaji dan penghasilan yang diterima guru adalah sama dalam bentuk finansial, namun apakah prinsip penganggaran dan penyaluran hak guru dalam bentuk finansial itu setara dengan cerminan guru sebagai pendidik yang profesional?
Sebuah pemandangan yang mengharukan, di saat tersiar kabar Andik Santoso seorang guru honorer asal Lamongan, yang bahagia setelah mendapat hadiah sepeda motor dari Aipda Purnomo dan rekan-rekan kepolisian Polsek Babat. Selama 17 tahun Andik harus menempuh jarak 13 Kilometer menuju pedalaman Jombang untuk mengabdi sebagai guru dengan gaji 300 ribu perbulan.
Selama itu pula dirinya telah 9 kali ganti sepeda motor dan harus mengumpulkan kayu bakar setelah pulang mengajar untuk dijual dan kemudian uangnya digunakan membeli bensin untuk berangkat mengajar keesokan harinya.
Andik Santoso adalah satu wajah dari ratusan ribu wajah guru honorer di Indonesia yang kemungkinan bernasib sama dalam hal memperoleh gaji dan penghasilan. Sebuah dedikasi yang seharusnya mendapat perhatian penuh dari penyelengara pendidikan. Dengan fakta di era Industri 4.0 ini pemenuhan kebutuhan pokok seorang guru honorer sebagai manusia biasa yang kian hari kian sulit, tentu tidak ada alasan gaji dan penghasilan guru masih sangat begitu rendah.
Pemerintah sebagai salah satu institusi utama penyelenggara pendidikan telah mengupayakan berbagai regulasi dan aspek persyaratan bagi guru untuk mencapai fungsi dan tujuan pendidikan nasional berdasarkan Pasal 3 UU No 20 Tahun 2003. Salah satunya ialah sertifikasi pendidik yang digadang-gadang dapat menjadi skala acuan dalam menilai tingkat profesionalitas guru dalam mengemban tugasnya.
Sertifikasi pendidik menjadi sebuah kewajiban guna mendapatkan pengakuan kedudukan secara hukum sebagai seorang guru. Sertifikasi adalah bukti bahwa guru telah memenuhi syarat yang ditetapkan dan kemudian akan berdampak kepada pemenuhan hak-hak lain di luar gaji dan penghasilan.
Tetapi di lain sisi ada sekelumit masalah usang dan “bisik-bisik” para guru mengenai kebijakan sertifikasi guru. Bahwa tanda profesionalitas seorang guru tidak dapat “dipaku mati” melalui selembar sertifikat pendidik.
Adanya sertifikasi pendidik dinilai menjadi pemicu terbelahnya fokus guru dalam melaksanakan tugasnya. Guru menjadi sibuk memenuhi syarat jam mengajar, kendatipun aturan ini telah direvisi dalam UU Omnibus Law, namun masalah lain yang paling mendasar adalah guru dikhawatirkan secara perlahan lebih fokus pada sertifikasi dibandingkan tugasnya mengajar.
Cerminan kemajuan pendidikan berbarengan dengan komersialisasi pendidikan itu sendiri dan apa yang kemudian terjadi dengan para guru honorer, ialah masih belum mendapat perhatian yang serius dari penyelenggara pendidikan. Evaluasi dan verifikasi ketat ialah tindakan yang dapat dilakukan guna melihat fakta secara jernih dan berimbang, seperti yang dialami Andik Santoso dan para guru honorer lainnya yang konsisten mewarisi semangat Ki Hajar Dewantara dan mengedepankan filosofi Tut Wuri Handayani dalam mengemban tugas.
Bukankah mereka yang sepatutnya dikedepankan dalam pemenuhan haknya?
Mengutip tulisan pendiri Sanggar Anak Alam, Toto Rahardjo, dalam rubrik Tetes caknun.com, “Mau ke mana arah pendidikan kita? Sementara kita mendapatkan kesan seolah-olah perubahan kebijakan sangat dipengaruhi oleh selera dari latar belakang pendidikan para menterinya, ditambah lagi pengaruh orientasi pasar yang sangat kuat, sehingga melahirkan kebijakan-kebijakan yang mengarah pada komoditas pendidikan dengan instrumen yang disebut standardisasi dan sertifikasi.”
Tetaplah semangat para pahlawan dan pejuang pendidikan Indonesia!
Baik yang terlihat maupun tidak terlihat, yang terdengar maupun yang berjuang dalam kebisuan.(*)
Penulis merupakan pengamat sosial. Saat ini mengemban amanah di BPSK.