Oleh: Gregorius*
PIRAMIDA.ID- UU Provinsi Sumatera Barat (selanjutnya disebut UU Sumbar) secara resmi menggantikan UU No 61 Tahun 1958 tentang Penetapan UU Darurat No. 19 Tahun 1957 Pembentukan Daerah-Daerah Swatantra Tingkat I Sumatera Barat, Jambi dan Riau setelah disahkan oleh DPR RI pada tanggal 30 Juni 2022.
Semenjak disahkan hingga hari ini, UU ini memicu penolakan dari berbagai lapisan masyarakat, khususnya masyarakat suku Mentawai. UU ini dinilai berpotensi melanggar hak-hak kelompok minoritas serta tidak memberikan perlindungan terhadap kebebasan beragama.
Bagaimana tidak, UU tersebut menetapkan sebuah falsafah yang dicantumkan dalam hukum positif, yaitu penetapan bahwa adat Sumatera Barat bersendi syariah dan syariah bersendi pada kitabullah. Dalam bahasa Minangkabau sering disebut “Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah – sering disingkat ABS-SBK.
Dengan kata lain, Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah, Syarak Mangato, Adat Mamakai merupakan kerangka atau pola berkehidupan bagi orang Minangkabau, baik secara horizontal-vertikal dengan Sang Maha Pencipta, maupun secara horizontal-horizontal antar sesama manusia, ataupun dengan makhluk lain di alam semesta (mikrokosmos dan makrokosmos).
Pasal 5 huruf C berbunyi, “Provinsi Sumatera Barat memiliki karakteristik, yaitu adat dan budaya Minangkabau berdasarkan pada nilai falsafah, adat basandi syara’, syara’ basandi kitabullah sesuai dengan aturan adat salingka nagari yang berlaku, serta kekayaan sejarah, bahasa, kesenian, desa adat/nagari, ritual, upacara adat, situs budaya, dan kearifan lokal yang menunjukkan karakter religius dan ketinggian adat istiadat masyarakat Sumatera Barat.”
Sebagai informasi, secara geografis Provinsi Sumatera Barat tidak hanya meliput daratan pesisir pantai barat Sumatera Tengah, tetapi juga meliputi Kepulauan Mentawai dengan 4 pulau besar, yakni Pulau Siberut, Pulau Sipora, Pulau Pagai Utara dan Pulau Pagai Selatan
Kebudayaan Minangkabau di daratan Sumatera Barat dengan kebudayaan Mentawai di Kepulauan Mentawai merupakan dua entitas yang sangat berbeda.
Kebudayaan Mentawai tidak mengenal falsafah “Adat Basandi Syarak. Syarak Basandi Kitabullah”. Demikian halnya kebudayaan Minangkabau tidak mengenal tato (Titi Mentawai) dan Sikerei. Orang Mentawai adalah orang dengan perawakan menarik, berwarna kulit cokelat kekuningan, sangat jarang didapati cacat fisik, karena mereka hidup menurut keadaan yang sesungguhnya dari alam (J.R. Logan).
Hal paling menonjol dari karakter orang Mentawai adalah kesenangan mereka terhadap hiasan, sehingga tidak mengherankan jika tubuh mereka dipenuhi tato. Bagi mereka, tato adalah busana abadi yang dapat dibawa mati. Tato ini berfungsi untuk menunjukkan jati diri dan perbedaan status sosial dalam masyarakat. Tato Mentawai dinobatkan sebagai seni lukis tato tertua di dunia yang sudah ada sejak 1500 SM, lebih tua dari tato Mesir yang baru muncul pada 1300 SM. Pembuat tato disebut Sipatiti.
UU Sumbar kemudian memunculkan polemik karena tidak mengakomodir bagaimana Suku Mentawai merupakan satu kesatuan utuh bagian dari Provinsi Sumatera Barat. Melalui UU Sumbar, negara secara langsung menghapus serta tidak mengakui eksistensi kebudayaan Mentawai sebagai bagian dari masyarakat Provinsi Sumatera Barat.
UU Sumbar tidak menyebut secara eksplisit bagaimana Suku Mentawai merupakan salah satu suku asli di Sumatera Barat yang perlu diakui keberadaannya. Sehingga jelas, bahwa di Sumatera Barat terdapat 2 (dua) kebudayaan besar, yaitu kebudayaan Minangkabau dan kebudayaan Mentawai – di samping tentu ada kebudayaan lainnya seperti kebudayaan Jawa, Nias, dan Batak.
Menyikapi krisis ini, Presiden Joko Widodo harus segera menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) untuk menggantikan UU Sumatera Barat. Jangan sampai Pemerintah Provinsi Sumatera Barat menelurkan peraturan daerah sebagai produk turunan UU Sumbar yang nantinya akan menekan kaum minoritas serta meniadakan eksistensi suku Mentawai. Agar dikemudian hari kita tidak lagi menemukan adanya kasus pemaksaan jilbab di sekolah, polemik rendang babi, dan lain sebagainya.
Sumatera Barat harus menjadi rumah yang aman untuk setiap Warga Negara Indonesia, khususnya untuk masyarakat suku Mentawai.(*)
Penulis merupakan Ketua Lembaga Pengembangan SDM Pengurus Pusat PMKRI St. Thomas Aquinas periode 2022-2024.