Thompson Hs*
PIRAMIDA.ID- Revitalisasi Opera Batak dilakukan di Tarutung pada tahun 2002, tepatnya pada masa Bupati RE Nainggolan. Program tersebut diajukan dan dilaksanakan oleh Asosiasi Tradisi Lisa (ATL) bersama kolega yang ada di Medan, seperti Prof. Dr. Robert Sibarani, M.S dan almarhum Prof. H. Ahmad Samin Siregar, M.S.
Sebelumnya program tersebut ditolak di Kabupaten Tobasa (sebelum ada pemekaran lagi menjadi Kabupaten Samosir).
Hasil revitalisasi Opera Batak di Tarutung melahirkan satu grup percontohan yang dinamai Grup Opera Silindung (GOS) dan sempat mengadakan pertunjukan di Tarutung, Medan, Jakarta, Sipoholon, Laguboti, dan Siantar sampai tahun 2005.
Grup tersebut diharapkan dapat mandiri dan menjadi model awal untuk meneruskan revitalisasi di Tarutung. Di Samosir mulai muncul kembali perhatian terhadap Opera Batak setelah dua tahun program revitalisasi itu.
Malahan Tobasa kemudian lebih awal mendapat dana pusat untuk program inventaris dengan membuat pertunjukan Opera Batak yang dipesan grupnya dari Medan.
Program Opera Batak Metropolitan juga muncul di TVRI Sumut sejak 2003 hingga lebih 30 seri cerita lakon terbaru, selain program rekonstruksi yang dilakukan secara inisiatif oleh akademisi dari USU.
Jadi “gong revitalisasi Opera Batak” di Tarutung membalikkan pesimisme sebelumnya terkait stigma tentang par-Opera, apalagi dalam upaya revitalisasi dominan anak muda atau generasi baru menjadi sasaran utama.
Hingga berdiri dan beroperasinya Pusat Latihan Opera Batak (PLOt) di Siantar sebagai kelanjutan program revitalisasi, para pemain Opera Batak terdahulu terseleksi dengan sendirinya atas tuntutan revitalisasi dan metode keberlangsungan Opera Batak itu.
Boleh dikatakan, pewaris Opera Batak adalah para generasi baru Batak atau yang ingin belajar tentang tradisi Batak, terutama melalui elemen-elemen yang digunakan dalam pertunjukan Opera Batak.
Kelihatannya juga elemen musik/lagu kembali diperhatikan industri rekaman. Sehingga lagu-lagu Opera Batak, seperti karya Master Tilhang Gultom, AWK Samosir, dan lain-lain diminati lagi oleh berbagai kalangan. Opera Batak sebagai entry point untuk mempelajari tradisi sangat tepat dipelajari dan mendorong pelibatan berbagai diri.
Kalangan Batak di beberapa tempat menganggap Opera Batak menjadi milik bersama, tanpa mengesampingkan para perintisnya yang masih perlu diapresiasi. Para perintis itu dibayangkan bukan satu orang. Tapi Master Tilhang Gultom sudah sangat dikenal.
PLOt didirikan atas inisiatif 4 orang, yakni Almarhum Sitor Situmorang, Lena Simanjuntak, Barbara Brouwer, dan Thompson Hs. Sekedar mengenalkan misi PLOt dapat dilihat di sini.
Setahun setelah PLOt beroperasi minat akademisi untuk mengkaji Opera Batak semakin meningkat, termasuk salah seorang mahasiswa arsitektur yang merancang ide Gedung Opera Batak.
Ide itu menjadi skripsi dan hipotesa awal untuk rekomendasi perlunya sebuah Gedung Opera Batak ke depan di Kawasan Danau Toba untuk tujuan historikal, namun berfungsi seperti Taman Budaya.
PLOt berpikir secara umum dengan penamaan Gedung Opera Batak tanpa untuk mengesampingkan para pendirinya. Sehingga sosialisasi tentang ide itu sempat disampaikan secara formal ke Tobasa pada tahun 2008 dan informal ke Samosir setelah tahun itu.
Sambil menunggu waktu PLOt ingin meneruskan visi Opera Batak tahun 1930-an yang akan merajai Asia dan Eropa. Lebih awal ke Eropa, PLOt diundang dan difasilitasi oleh Deutsche-Indonesische Gesellschaft (Lembaga Jerman – Indonesia) untuk pertama kali tampil di 2 kota di Jerman dan dua tahun berikutnya di 5 kota.
Cerita lakon yang ditampilkan adalah karya terbaru dan tercetak dalam buku 4 bahasa dan aksara Toba (beritanya dapat dibaca di sini). Sebelum ke Jerman karya tersebut ditampilkan di beberapa kota di Sumatera Utara dan Jawa. Pada 2015 semua pemain ke Jerman sudah sepenuhnya generasi baru.
Untuk visi ke Asia, PLOt bekerjasama dengan tim peneliti dari Institut Seni Indonesia (ISI) Padangpanjang, Sumatera Barat dan sudah mengadakan pertunjukan ke 2 kota di Malaysia (2018) dan Hanoi, Vietnam (2019).
Bahkan contoh pemanfaatan hasil revitalisasi itu, satu seri pertunjukan sengaja ditampilkan pada Hari Ulos 2020 di Samosir (beritanya dapat dibaca di sini).
Keberlangsungan pertunjukan Opera Batak
PLOt pada awal operasionalnya membuka diri untuk produksi pertunjukan, meskipun prinsip utamanya untuk pelatihan. Pertunjukan awal praktis dilakukan atas tawaran Tobasa dan acara-acara tertentu di Sumatera Utara dan regional Sumatera.
Kemudian sejak kembali dari pertunjukan ke Jerman 2013 diminta pertunjukan di Samosir dan secara inisiatif mewarnai “mengenang setahun Sitor Situmorang” melalui acara Memandang Danau Toba dari Harianboho, 20 -23 Desember 2015.
Sedangkan fasilitasi pelatihan PLOt sudah dikembangkan di Medan mulai 2019 lalu melalui unit Sanggar Sitopak Sada.
Sedang sekretariat di Siantar tetap berfungsi untuk tujuan strategis yang membangun Opera Batak dengan paradigma karya-karya terbaru dan mengupayakan terwujudnya ide Gedung Opera Batak menjelang 100 Tahun pada 2027 (sesuai satu catatan resminya pada tahun 1927).
Gedung Opera Batak dengan fungsinya seperti Taman Budaya di Kawasan Danau Toba merupakan rekomendasi logis dari PLOt untuk keberlangsungan seni pertunjukan yang muncul sebagai model pemertahanan tradisi-luhung dan keterbukaan pada pengaruh yang datang itu.(*)
Penulis merupakan direktur Pusat Latihan Opera Batak (PLOt) Siantar. Dikenal luas sebagai sastrawan Sumatera Utara.