Juan Ambarita*
PIRAMIDA.ID- Nasionalisme merupakan kata yang sering muncul ketika berbicara tentang sejarah kemerdekaan Indonesia. Hal ini disebabkan oleh karena adanya keinginan yang kuat dari para pendahulu bangsa Indonesia untuk berjuang demi terbebasnya bangsa Ini dari belenggu kolonialisme Belanda dan Jepang pada zaman dahulu.
Semangat untuk membentuk sebuah tatanan kehidupan yang merdeka dan bebas dari kolonialisme akhirnya melahirkan suatu kesatuan antar suku, ras, agama, dan golongan untuk bersatu kemudian membentuk suatu politik identitas serta solidaritas nasional, yaitu nasionalisme Indonesia.
Semangat nasionalisme di Indonesia pada dasarnya memang lahir dari bentuk perlawanan terhadap kolonialisme. Akan tetapi nasionalisme Indonesia juga dipengaruhi oleh adanya politik identitas serta solidaritas nasional.
Ada banyak defenisi dari nasionalisme. Di sini penulis hanya mengutip tiga saja;
1. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), nasionalisme adalah paham (ajaran) untuk mencintai bangsa dan negara sendiri; sifat kenasionalan.
2.Menurut Ir. Soekarno, founding father Negara Kesatuan Republik Indonesia, nasionalisme (dalam Irwan, 2001) bukanlah jingo nasionalisme atau chauvinisme, dan bukan pula suatu tiruan atau kopi dari nasionalisme barat. Nasionalisme adalah nasionalisme yang menerima rasa hidupnya sebagai wahyu.
3. Menurut Adolf Hitler, nasionalisme adalah suatu sikap dan semangat rela berkorban untuk melawan bangsa lain demi bangsa sendiri.
Berdasarkan tiga defenisi yang tertera di atas, penulis menyimpulkan bahwa nasionalisme adalah paham tentang kebangsaan dan cinta tanah air yang kemudian diwujudnyatakan dalam tindakan bermasyarakat dan bernegara. Nasionalisme amat diperlukan dalam rangka mencapai tujuan negara sebagaimana termaktub di dalam Pembukaan Undang Undang Dasar NRI 1945.
Namun di era serba modern saat ini, nasionalisme benar-benar mendapat ujian serius dari globalisme. Derasnya gempuran kebudayaan asing yang terfasilitasi oleh media dan teknologi internet dapat secara bebas hadir di tengah-tengah masyarakat dan berpotensi mendominasi serta mempengaruhi atau bahkan mengaburkan kebudayaan, nilai-nilai serta kearifan lokal dari berbagai daerah yang menjadi ciri khas Indonesia semenjak diproklamasikan oleh founding father kita, Ir. Soekarno.
Ditambah lagi dengan permasalahan-permasalahan pelik dis-integrasi bangsa seperti bermunculannya gerakan dengan ideologi yang berseberangan dengan ideologi negara, terorisme, radikalisme, serta konflik sosial bermotif suku, ras, dan agama yang mengindikasikan bahwa nilai-nilai nasionalisme dalam masyarakat sudah mulai tergerus.
Globalisme mengikis nasionalisme lewat kekuatan-kekuatan kapitalis asing yang menginvasi dan semakin merajalelanya memperluas jaringannya demi mengeruk sumber daya alam Indonesia yang melimpah. Eksploitasi alam maupun tenaga kerja oleh pihak asing dilakukan dengan kedok “investasi”, di mana keuntungan lebih banyak dinikmati oleh kapitalis asing, secara tidak langsung kita dijajah kembali oleh kekuatan asing.
Dalam kaitan antara globalisme dengan nasionalisme, penulis beranggapan bahwa negara hanya dijadikan sebagai alat penjaga keamanan dan ketertiban, sedangkan kemakmuran dan kesejahteraan dikuasai sebagian besar oleh perusahaan-perusahaan multi nasional yang notabenenya adalah milik asing. Hal ini bertendensi kepada pergeseran peran negara ke arah di mana nantinya nasionalisme warga negara sedikit demi sedikit akan memudar dan diganti dengan paham globalisme yang mendewakan uang dan kesenangan. Memudarnya semangat atau nilai-nilai nasionalisme sedikit demi sedikit akan berpengaruh terhadap perjalanan negara.
Kecenderungan munculnya kelompok-kelompok etnis merupakan salah satu bentuk memudarnya nasionalisme. Di tengah maraknya globalisme dengan segala atributnya, berupa modernisasi, keterbukaan, kemudahan dan kemajuan teknologi, merupakan sebuah tantangan bagi eksistensi nasionalisme. Peran kapital asing semakin besar dan ketergantungan negara terhadap pihak asing semakin menyudutkan peran negara di mata warga negara.
Era teknologi komunikasi dengan mewabahnya internet dengan segala fitur canggihnya semakin melegitimasi bahwa dunia semakin sempit dan ada tendensi ke arah dunia sebagai suatu kesatuan, sebuah kerumunan, masyarakat layaknya negara. Orang bebas berinteraksi satu sama lain tanpa adanya sekat pembatas. Tanpa dorongan yang kuat dari dalam dan kesadaran warga negara akan pentingnya nasionalisme maka lambat laun orang akan semakin individualistis tanpa ada keinginan untuk menjalin keterikatan satu sama lain.
Akhirnya di tengah semakin majunya peradaban dengan teknologi ilmu pengetahuan yang semakin maju, paham nasionalisme diuji apakah akan tetap eksis atau bahkan hilang ditelan arus globalisasi?
Berangkat dari asumsi ini, nasionalisme perlu disuarakan kembali untuk menjaga kedaulatan bangsa dan membawa Indonesia ke arah yang lebih baik karena jika tidak persatuan dan kesatuan akan terancam dan generasi mendatang akan bersikap apatis terhadap negerinya sendiri.(*)
Penulis merupakan Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Jambi.