Alboin Samosir*
PIRAMIDA.ID- Pagelaran berbagai pakaian adat yang digunakan oleh pejabat negara pada Hari Ulang Tahun (HUT) Kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-75 lalu tampak begitu anggun dan mempesona.
Pun, tak ketinggalan Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo turut memeriahkan suasana dengan mengenakan pakaian adat yang berasal dari Timur Tengah Selatan, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT).
Pemandangan seperti ini bukan hal baru lagi, sebab hampir setiap HUT Kemerdekaan RI dimeriahkan dengan pagelaran budaya dan pakaian adat.
Sejenak, dari euforia perayaan tersebut tampak menjadi bentuk penghargaan yang begitu tinggi kepada masyarakat adat. Sayangnya, hal tersebut tidak sejalan dengan realita yang terjadi.
Sehari setelah kemerdekaan, tepatnya 18 Agustus 2020, terjadi penggusuran paksa dan bersifat represif terhadap masyarakat adat Besipae, yang — ironinya — pakaian adatnya dikenakan oleh Jokowi saat perayaan proklamasi.
Pun hal yang sama dialami oleh masyarakat adat Laman Kinipan, Lamandau, Kalimantan Tengah yang terancam digusur oleh perusahaan perkebunan kelapa sawit.
Tentu saja, itu hanya segelintir kisah pilu dari masyarakat adat yang terpublikasi, karena masih banyak komunitas adat yang sampai hari ini berjuang untuk mendapatkan pengakuan dan perlindungan dari pemerintah.
Hal ini tentu saja bertentangan dengan amanat konstitusi yang terdapat pada Pasal 18B ayat (2) yang menegaskan, “…negara mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.”
Dalam bingkai berbangsa dan bernegara, keberadaan masyarakat hingga hari ini belum sepenuhnya diakui keberadaan dan kedudukannya oleh negara. Hal ini terlihat dari ketiadaan undang-undang yang mengatur secara spesifik tentang masyarakat adat.
Bahkan, masyarakat adat cenderung dianggap batu sandungan dalam “semangat” pembangunan yang harus dipinggirkan. Hal ini dibuktikan dari preferensi pemerintah yang berpihak pada kepentingan pemilik modal.
Proses penggusuran secara paksa, kriminalisasi, dan tindakan represif menjadi strategi yang digunakan oleh pemerintah untuk mereduksi keberadaan masyarakat adat.
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mencatat sepanjang Januari hingga awal Desember 2019 setidaknya 51 anggota masyarakat adat menjadi korban kriminalisasi.
Aliansi masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mencatat ada 279 konflik agraria di Indonesia, 87 diantaranya berada di wilayah adat. Selain itu dalam hal pengakuan hutan adat tercatat masih sangat minim. Sampai Agustus 2020, Badan Registrasi Wilayah adat (BRWA) mencatat ada 863 peta wilayah adat dengan luas mencapai 11,09 juta hektare. Dari keseluruhan itu baru 1,5 Juta hektare yang sudah ditetapkan dan memperoleh pengakuan dari pemerintah.
Rangkaian fakta dan kejadian tersebut semakin memperkuat keyakinan kita betapa tidak berpihaknya negara kepada masyarakat adat. Fakta dan kejadian tersebut tidak terlepas dari kebijakan dan peraturan perundang-undangan yang mengatur masyarakat adat.
Frase ‘masyarakat adat’ sendiri tidak ditemukan dalam konstitusi dan peraturan perundang-undangan hukum positif kita.
Dalam konstitusi pun terdapat dua perbedaan di mana dalam Pasal 18B ayat 2 diistilahkan ‘masyarakat hukum adat’, sedangkan di Pasal 28I ayat (3), diistilahkan ‘masyarakat tradisional’. Pun dalam undang-undang sektoral terdapat penamaan yang berbeda terkait dengan masyarakat adat.
Ditengarai penamaan yang sudah berbeda maka sudah barang tentu secara defenisi pun berbeda.
Dalam peraturan perundang-undangan tidak ditemukan defenisi yang jelas terkait dengan pengertian masyarakat adat, seperti di Undang-Undang Pokok-Pokok Agraria (UUPA) ada menyebutkan ‘masyarakat adat’ namun tak ada defenisi yang shahih. Pun, dalam UU Desa, hanya menyebutkan dengan sekilas.
Ketiadaan makna yang sama pada akhirnya mengaburkan eksistensi masyakarat adat itu sendiri.
Maka, bagaimana kita harus mendefenisikan masyarakat adat?
Penulis sendiri merujuk kepada Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) yang menerjemahkan masyarakat adat sebagai kelompok masyarakat yang memiliki asal-usul leluhur secara turun temurun di wilayah geografis tertentu, serta memiliki sistem nilai, ideologi, ekonom, politik, budaya, sosial, dan wilayah sendiri.
Selain pendefenisian dan penamaan yang belum padu, pengakuan dan perlindungan masyakarat adat yang dimuat dalam konstitusi menuai kritik dari para akademisi.
Persyaratan yang terdapat di Pasal 18B ayat (2) menurut F. Budi Hardiman, “Pengakuan bersyarat ini memiliki paradigma subjek-sentris, paternalistic, asimetris, dan monologal. Peranan besar negara untuk mendefinisikan, mengakui, dan mengesahkan eksistensi sepanjang masyarakat adat mau ditaklukan di bawah regulasi negara atau dijinakkan.”
Paradigma seperti ini tidak sesuai dengan prinsip kesetaraan dan otonomi yang ada dalam demokrasi.
Satjipto Rahardjo mengatakan, “4 persyaratan yang terdapat di Pasal 18B ayat (2) diantaranya, masih hidup; sesuai dengan perkembangan masyarakat; sesuai dengan prinsip NKRI; diatur dalam undang-undang, sebagai bentuk kekuasaan negara yang hegemonial yang menentukan ada ada atau tidaknya masyarakat adat.”
Dampak dari persyaratan ini, menyebabkan upaya untuk pengakuan itu sendiri berhenti pada diskursus menyangkut indikator dari persyaratan tersebut. Hal tersebut juga berimplikasi pada aturan derivasinya, di mana beberapa undang-undang maupun peraturan operasional tidak memiliki kesamaan indikator dalam menerjemahkan syarat-syarat konstitusional masyarakat adat.
Pengakuan masyarakat adat yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan aturan operasional tidak memiliki satu kesatuan, misalnya dalam Permendagri No. 52 tahun 2014, pengakuan masyarakat adat dilakukan dengan diterbitkannya Peraturan Daerah (Perda), sedangkan menurut Permen LHK No. 21 tahun 2019 dapat dilakukan dengan penerbitan Surat Keputusan dari Kepala Daerah yang bersangkutan.
Selain dari permasalahan dari undang-undang sectoral yang masih bertentangan satu sama lain, terdapat upaya sistematis yang dilakukan oleh negara untuk memperlemah masyarakat adat.
Yang penulis jelaskan di atas adalah upaya “penghancuran yuridis”; yang kedua, pelemahan dan penghancuran praktis, yakni tindakan-tindakan negatif terhadap masyarakat adat; dan, yang terakhir, memecah belah kesatuan masyarakat adat tersebut.
Upaya-upaya ini tentu saja sangat bertentangan dengan prinsip-prinsip kebangsaan yang sudah dicetuskan oleh para founding fathers bangsa ini yang selama ini menempatkan masyarakat adat dalam peran yang sentris.
Harusnya para penguasa kini mengingat kembali sejarah bagaimana peran penting masyarakat adat dalam menjaga dan mempertahankan keutuhan bangsa ini. Dan hal itu berlangsung hingga kini.
Pun dalam tantangan ekonomi global masyarakat adat mampu mengambil peran. Dalam globalisasi dan hegemoni kapital global saat ini, tidak mungkin dihadapi oleh lokalitas sekalipun dengan legitimasi otonomi yang memadai. Tantangan ini memerlukan institusi yang lebih kuat. Dalam hal ini masyarakat adat memiliki kapasitas untuk menghadapinya.
Hal ini nyata terbukti, saat kondisi negara-negara terpuruk oleh pandemi COVID-19, masyarakat adat tampil sebagai institusi yang meyakinkan.
Kebangkrutan ekonomi negara akibat COVID-19 berjalan terbalik dengan yang dialami masyarakat adat. Dengan pola ekonomi kerakyatan, pendekatan budaya, self regulating community, dan self determinating community, masyarakat adat tampil menjadi “pemenang” di tengah pandemi karena secara struktural-komunitas relatif tidak terpengaruh dengan situasi pandemi.
Oleh karena itu, negara harus mulai berpikir membangun bangsa ini dengan menggandeng masyarakat adat dan menerapkan pola-pola pembangunan yang selama ini mereka gunakan, di mana proses pembangunan tetap terjadi tetapi tidak merusak tatanan ekosistem dan kosmopolitan.
Dan satu yang harus diingat oleh negara, keberadaan mereka jauh sebelum bangsa Indonesia memerdekaan diri sebagai negara. Maka, wajar kiranya mereka mendapat tempat dan kedudukan yang setara di bangsa Indonesia ini, sebab sesungguhnya mereka bisa tumbuh dan berkembang tanpa kehadiran negara.
Maka, sebagai bentuk kehadiran negara terhadap masyarakat adat, dorongan dan desakan diperlukannya sebuah payung hukum yang mampu memberikan pengakuan dan perlindungan terhadap masyarakat adat sudah berada pada tataran urgensi.
Dus, Rancangan Undang-Undang Masyarakat Adat adalah jawaban dari semua problema ini.
Seperti yang dikatakan Rukka Sombolinggi, “Disahkannya Rancangan Undang-Undang Masyarakat adat akan menjamin komunitas adat yang tersebar di Nusantara untuk membangun resiliensi komunitasnya yang secara langsung menyumbang pada ketahanan Indonesia sebagai bangsa.”
Mari mendesak dan kawal RUU Masyarakat Adat!
Penulis merupakan Ketua Lembaga Agraria dan Kemaritiman PP PMKRI periode 2020-2022.
Editor: Red/Hen