Oleh: Gregorius*
PIRAMIDA.ID- Sejak ditetapkan pada tanggal 30 Juni 2022, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2022 (UU Sumatera Barat) tak henti-hentinya memicu perdebatan. Sebagian kalangan, khususnya masyarakat Minangkabau merespons positif kehadiran UU tersebut karena memuat kebudayaan Minangkabau, sebagian lainnya, khususnya masyarakat Mentawai merespon negatif akibat ketiadaan pengakuan kebudayaan Mentawai di dalamnya.
Untuk diketahui, UU Sumatera Barat hadir menggantikan UU No 61 Tahun 1958 tentang Penetapan UU Darurat No. 19 Tahun 1957 Pembentukan Daerah-Daerah Swatantra Tingkat I Sumatera Barat, Jambi dan Riau. UU ini lahir dari Usul Inisiatif Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) Tentang RUU Provinsi Sumatera Barat, RUU Provinsi Riau, RUU Provinsi Jambi, RUU Provinsi Nusa Tenggara Barat dan RUU Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Adapun yang menjadi pokok permasalahan adalah kehadiran Pasal 5 huruf C yang berbunyi, “Provinsi Sumatera Barat memiliki karakteristik yaitu adat dan budaya Minangkabau berdasarkan pada nilai falsafah, adat basandi syara’, syara’ basandi kitabullah sesuai dengan aturan adat salingka nagari yang berlaku, serta kekayaan sejarah, bahasa, kesenian, desa adat/nagari, ritual, upacara adat, situs budaya, dan kearifan lokal yang menunjukkan karakter religius dan ketinggian adat istiadat masyarakat Sumatera Barat.”
Berdasarkan data yang diperoleh dari Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri tahun 2021, penduduk Sumatera Barat berjumlah 5,6 juta jiwa, dengan 5,46 juta merupakan mayoritas penduduk Minangkabau yang beragama Islam.
Sebanyak 83,83 ribu jiwa beragama Kristen, 46,82 ribu jiwa beragama Katolik, 3,47 ribu beragama Budha, 102 jiwa beragama Hindu, serta penganut aliran kepercayaan sebanyak 274 jiwa. Selain itu, masyarakat provinsi Sumatera Barat terdiri dari berbagai suku yakni suku mayoritas Minangkabau, Jawa, Batak, Nias, Tionghoa dan Mentawai. Sebagian besar suku Mentawai berdomisili di Kabupaten Kepulauan Mentawai dengan suku minoritas lainnya menyebar di seluruh daratan Sumatera Barat.
Kehadiran UU ini dinilai mengabaikan eksistensi masyarakat serta adat kebudayaan minoritas lainnya, khususnya masyarakat Mentawai. Bagaimana tidak, UU tersebut dinilai belum secara utuh mengakomodasi beragam adat dan kebudayaan yang ada di Sumatera Barat. Padahal, dengan pengakuan keberadaaan masyarakat adat dan kebudayaan minoritas lainnya, UU ini tidak akan mengurangi atau bahkan menghilangkan falsafah hidup masyarakat Minangkabau.
UU Sumbar diharapkan memuat langsung pasal-pasal yang mengatur adanya kekhususan untuk daerah Mentawai maupun adat istiadat lainnya yang eksis di Sumatera Barat. Pengakuan adat Minangkabau di UU ini, dengan menihilkan eksistensi adat istiadat kebudayaan yang lain dilihat akan memunculkan pemaksaan (dominasi) Minangkabau terhadap seluruh kehidupan bermasyarakat di Sumatera Barat.
Khusus Mentawai, Ketua DPRD Kabupaten Mentawai bahkan mengatakan bahwa mereka tidak dilibatkan atau ketiadaan proses dengar pendapat dalam proses pembuatan UU ini.
Berkaca ke beberapa tahun belakangan, berbagai perlakuan diskriminatif di Sumatera Barat kerap terjadi.
Sebut saja, larangan ibadah natal di Dharmasraya pada tahun 2019, kasus pemaksaan pemakaian jilbab pada tahun 2021, kasus nasi padang babi dan lain sebagainya. Perlu dicermati, asal mula seluruh kasus tersebut adalah adanya pandangan ketidaksesuaian falsafah budaya Minangkabau dengan kebudayaan lain selain Minangkabau. Adat bersandi syariat, syariat bersandikan Al-Quran.
Seperti kata Gamawan Fauzi terhadap kasus Babi Ambo, “restoran Padang dimasak oleh orang Minang yang pasti Islam, karena bila orang Minang tidak Islam, maka dia otomatis tak berhak lagi mengaku sebagai etnik Minang, dan dia juga tidak diakui lagi sebagai orang Minang yang menganut falsafat adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah, syarak mangato, adat mamakai”.
Ketiadaan pengakuan kebudayaan selain Minangkabau sebagai bagian dari karakteristik Sumatera Barat pada UU Sumatera Barat dikhawatirkan akan memunculkan bentuk-bentuk diskriminasi yang dilindungi oleh negara. Melalui UU ini, negara secara langsung memberi jalan dominasi kebudayaan Minangkabau terhadap seluruh kebudayaan yang eksis di Sumatera Barat.
Benar bahwa kehadiran UU ini tidak akan membuat Provinsi Sumatera Barat menjadi daerah istimewa seperti Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, untuk kasus UU ini perlu diingat mereka-mereka yang mendukung dalam diam tindakan diskriminasi akan berperan penting pada lahirnya peraturan daerah yang diskriminatif dan regresif terhadap masyarakat diluar Minangkabau.(*)
Penulis merupakan Ketua Lembaga Pengembangan SDM Pengurus Pusat PMKRI St. Thomas Aquinas.