Oleh: Gregorius*
PIRAMIDA.ID- Dewan Perwakilan Daerah (DPR) RI bersama pemerintah beberapa waktu lalu resmi mengesahkan 5 undang-undang (UU) Provinsi. Kelima UU tersebut adalah UU tentang Sumatera Barat (Sumbar), UU tentang Jambi, UU tentang Riau, UU tentang Nusa Tenggara Barat (NTB) dan UU tentang Nusa Tenggara Timur (NTT).
Adapun untuk UU Sumbar bersama dengan UU Riau dan UU Jambi bertujuan untuk memperbarui aturan perundang-undangan dari UU sebelumnya, yakni UU No. 61 Tahun 1958.
Pengesahan UU Sumbar tak pelak menimbulkan polemik di masyarakat, khususnya masyarakat Mentawai dan minoritas yang ada di Sumatera Barat. Sebagian besar masyarakat Sumatera Barat mengapresiasi kehadiran UU ini karena dianggap telah mengakomodir kearifan lokal masyarakat Minangkabau, walau kemudian DPR sudah menegaskan bahwa UU tersebut tidak bertujuan untuk menjadikan Provinsi Sumatera Barat sebagai daerah istimewa layaknya Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD).
Secara keseluruhan, kehadiran UU Sumbar patut kita acungi jempol karena pemerintah telah menetapkan UU yang memuat aturan mengenai soal materi keragaman, adat dan budaya daerah. Menjadi masalah kemudian bahwa masyarakat Sumatera Barat bukan hanya masyarakat Minangkabau.
Mentawai Sebagai Sebuah Entitas
Masyarakat suku Mentawai adalah penghuni asli Kepulauan Mentawai. Mereka ditemukan di lepas pantai Barat Sumatera yang terdiri dari sekitar 70 pulau dengan 4 pulau utama, yakni Pulau Siberut, Pulau Sipora, Pulau Pagai Utara dan Pulau Pagai Selatan. Nenek moyang masyarakat Mentawai diyakini telah bermigrasi ke daerah tersebut antara 2000 SM – 500 SM. Selama periode kolonialis Belanda menduduki Mentawai (1800an – 1940an) hubungan masyarakat Mentawai dengan Belanda dapat dikatakan memuaskan, di mana mereka “menerima harga yang adil dalam perdagangan dan bebas untuk mempraktekkan gaya hidup budaya mereka, Arat Sabulungan.
Secara bahasa, Arat Sabulungan berasal dari kata ‘arat’ yang artinya adat, ‘sa’ artinya sekitar dan ‘bulungan’ artinya daun. Arat Sabulungan lahir karena acara ritualnya selalu menggunakan dedaunan yang dipercaya bisa menjadi perantara hubungan manusia dengan Tuhan yang disebut Ulau Manua.
Arat Sabulungan merupakan eksistensi budaya di mana masyarakat Mentawai percaya akan perlunya keseimbangan antara alam dan manusia. Manusia sudah semestinya memperlakukan alam dan seisinya sebagaimana mereka memperlakukan diri mereka sendiri. Wawasan orang Mentawai mengenai alam lingkungannya tidak berasal dari cerita dongeng, melainkan dari kisah yang benar-benar mereka alami dengan alam lingkungannya (reimar).
Pada zaman dahulu Arat Sabulungan menjadi patokan norma untuk mengatur hubungan antara manusia dan alam serta dalam hubungan batin dengan Tuhan. Hal inilah yang kemudian menjalin sikap hormat masyarakat Mentawai terhadap alamnya. Jika alam dirusak, maka pemiliknya yang memiliki kekuatan besar pun akan mengirim bencana. Pelanggaran terhadap aturan ditentukan lewat musyawarah di uma. Jika ada satu orang melanggar, maka seluruh anggota masyarakat juga akan terdampak.
Selain Arat Sabulungan hal lain yang menonjol dari kebudayaan Mentawai adalah Sikerei dan kebudayaan tato (titi). Sikerei merupakan sebutan bagi seseorang yang dianggap memiliki kekuatan supranatural, yang mana biasanya dinobatkan melalui upacara khusus yang disebut taddek. Bagi masyarakat Mentawai, Sikerei adalah orang yang memiliki pengetahuan, keahlian serta keterampilan akan pengobatan dan tanaman obat. Orang yang dapat berhubungan dengan roh-roh dan jiwa orang-orang di alam nyata maupun di alam gaib.
Karena keistimewaan tersebut, Sikerei memiliki peran penting dalam kehidupan masyarakat Mentawai. Sikerei menjadi tokoh pengobatan dan spiritual dan pemimpin ritual dalam setiap upacara adat (punen atau pesta) di uma.
Tradisi lain yang melekat dengan kepercayaan Arat Sabulungan adalah tato (titi). Tato Mentawai dianggap sebagai tato tertua di dunia mendahului tato Mesir yang sudah ada pada tahun 1300 SM. Tato Mentawai memiliki berbagai ragam motif yang menunjukkan identitas klan. Tinta yang digunakan berasal dari arang kayu atau bekas pembakaran yang dihaluskan lalu dicampur perasan tebu. Duri atau jarum kemudian dicelupkan pada tinta lalu ditusukkan ke lapisan kulit.
Bagi masyarakat Mentawai, motif tato yang digambar tidak bisa dipilih sembarangan karena setiap gambar memiliki maknanya sendiri. Orang Mentawai bisa membuat tato di sekujur tubuhnya, mulai dari kaki, jari, dada, leher hingga pipi. Proses pembuatan tato tidak sembarangan dikarenakan ada proses adat yang harus diikuti.
UU Sumbar Itu Diskriminatif?
Pasal 5 huruf C pada UU Sumbar berbunyi, “Provinsi Sumatera Barat memiliki karakteristik, yaitu adat dan budaya Minangkabau berdasarkan pada nilai falsafah, adat basandi syara’, syara’ basandi kitabullah sesuai dengan aturan adat salingka nagari yang berlaku, serta kekayaan sejarah, bahasa, kesenian, desa adat/nagari, ritual, upacara adat, situs budaya, dan kearifan lokal yang menunjukkan karakter religius dan ketinggian adat istiadat masyarakat Sumatera Barat.”
Pasal tersebut cenderung multitafsir mendeskripsikan adat dan ciri Sumatera Barat. Sebagian pihak (bahkan Gubernur Sumatera Barat Mahyeldi) mengatakan bahwa sebenarnya Mentawai sudah diakomodir pada penyebutan “kearifan lokal” pada pasal tersebut, walaupun kemudian ketika beliau menerima audiensi Aliansi Mentawai Bersatu (AMB) di aula Gubernuran Sumatera Barat tidak berani menandatangani secara langsung aspirasi yang disodorkan (AMB) agar diajukan ke pusat di Jakarta (beliau hanya membubuhkan tandatangannya pada secarik kertas).
Ketiadaan pengakuan Mentawai sebagai bagian dari karakteristik yang ada di Sumatera Barat di UU tersebut patut disesalkan. Hal ini dapat menimbulkan dominasi (pemaksaan) adat istiadat Minangkabau terhadap masyarakat Mentawai. UU Sumbar cenderung diskriminatif terhadap Mentawai namun regresif terhadap Minangkabau.
Seharusnya, penetapan UU Sumbar untuk mengatur rumah tangga Provinsi Sumatera Barat menggantikan UU sebelumnya sudah tepat. UU No 61 Tahun 1958 kurang tepat diterapkan saat ini. Hanya saja, UU Sumbar perlu mengakomodir secara langsung mengenai eksistensi kebudayaan Mentawai di Provinsi Sumatera Barat dalam satu pasal khusus.
Sebagai informasi tambahan, tanpa UU Sumbar ini saja, Sumatera Barat pernah mengeluarkan perda diskriminatif. Instruksi Wali kota Padang tahun 2005 yang dikeluarkan Fauzi Bahar mewajibkan penggunaan jilbab untuk pelajar di Kota Padang. Sumatera Barat perlu berbenah!(*)
Penulis merupakan Ketua Lembaga Pengembangan SDM Pengurus Pusat PMKRI St. Thomas Aquinas.