PIRAMIDA.ID- Vaksin untuk menangkal COVID-19 sudah mulai dikontribusikan pada masyarakat. Syamsir Alamsyah warga Indonesia yang tinggal di Jerman sempat ragu, apakah akan vaksin di Indonesia, atau Jerman atau bahkan tidak vaksin? Pertanyaan itu menggelayut di benaknya karena ragam alergi yang dideritanya selama ini.
“Saya sebenarnya mau saja divaksin, tapi ragu-ragu karena dari 21 jenis alergi yang diteskan dulu di tubuh saya, diketahui bahwa saya punya 11 macam alergi. Banyak, bukan? Tetapi setelah saya berpikir panjang, saya putuskan untuk konsultasi dengan dokter dulu agar dia dapat memeriksa terlebih dahulu vaksin mana yang cocok untuk tubuh saya yang banyak alergi ini, vaksin apa yang terbaik buat jenis tubuh seperti saya,” paparnya.
Sementara Ellen Wijaya yang pernah terpapar virus COVID-19 sekeluarga memandang distribusi vaksin untuk menanggulangi COVID-19 itu merupakan langkah yang baik untuk memulihkan keadaan dunia agar bisa normal lagi.
“Lalu saya dan keluarga saya sendiri pun walau sudah pernah kena virus corona, kemungkinan besar akan minta divaksin. Tapi kita masih mau lihat beberapa saat dulu efek dari vaksin tersebut, bagaimana ya,” tanya Ellen yang juga punya keraguan serupa. “Mungkin kalau 70% orang di Jerman sudah ambil vaksinnya kita bisa lebih yakin untuk divaksin juga.”
Di balik kebimbangannya, terbersit kerinduan akan kehidupan sebelum masa pandemi corona. “Jujur, saya pun sudah rindu bisa jalan-jalan tanpa masker dan tanpa rasa khawatir jika memegang ini atau itu. Dan dengan ikut di vaksin pun saya rasa itu salah satu tindakan yang bertanggung jawab terhadap sesama,” tandasnya.
Pro kontra kandidat vaksin
Di seluruh dunia saat ini tercatat ada 160 kandidat vaksin. 50 di antaranya sudah melakukan uji klinis, untuk mengetes kandidat potensial vaksin virus corona penyebab COVID-19. Anastasia Maharani seorang analis vaksin asal Indonesia yang bekerja di lembaga kesehatan di Jerman mengatakan di Jerman sendiri ada tiga jenis vaksin yang digunakan. Pertama, Pfizer-BioNTech, kedua Moderna dan ketiga, AstraZeneca.
Anastasia mengungkapkan dari hasil analisis itu di Eropa, Pfizer-BioNTech dan Moderna adalah salah satu yang cukup efektif, hingga sekitar 90% efektif melawan virus, “Sedangkan efektivitas AstraZeneca antara 65% sampai 80%. Namun AstraZeneca tepat bagi orang-orang yang menderita alergi dan perempuan hamil,” tambah Anastasia.
Berdasarkan penelitian yang diterbitkan dalam jurnal Nature Medicine vaksin BioNTech-Pfizer terbukti efektif melawan dua varian virus corona. BioNTech dan Pfizer mengatakan tidak dibutuhkan vaksin baru untuk melawan mutasi virus corona yang pertama kali ditemukan di Inggris dan Afrika Selatan. Namun demikian, transformasi virus mematikan ini membuat data klinis dan observasi lanjutan sangat diperlukan.
Sedangkan komisi vaksinasi Jerman STIKO sempat menyebutkan suntikan vaksin COVID-19 AstraZeneca hanya boleh diberikan kepada orang yang berusia 64 tahun ke bawah. Namun AstraZeneca dan Perdana Menteri Inggris Boris Johnson memberikan tanggapan terkait temuan STIKO. Bantahan diserukan juru bicara perusahaan yang berbasis di Inggris itu dengan mengatakan data uji klinis terbaru untuk vaksinnya mendukung kemanjuran pada kelompok usia di atas 65 tahun.
Efek vaksin
Di luar pro kontra soal vaksin tersebut, Analis vaksin, Anastasia Maharani yang bermukim di Dortmund ini mengajak masyarakat agar tidak perlu khawatir berlebihan akan efek dari vaksin COVID-19.
Efek samping vaksin menurutnya hal yang normal, “Kalau ingat dulu itu waktu kita kecil di vaksin itu pasti ada reaksinya, misal badan panas, terus demam itu hal yang wajar jika divaksin. Vaksin itu adalah proses imunitas tubuh kita berkenalan dengan penyakit, gampangnya kalau bisa kita sakit flu, tidak divaksin saja kita sakit, misalnya kita sakit flu, terasa pusing, demam itu tandanya itu tubuh kita sedang perang melawan penyakit,” paparnya.
Efek paling buruk yang akan dirasakan untuk efek sampingnya menurut Anastasia adalah mual, bengkak, badan terasa ngilu, terkadang bisa agak susah nafas, detak jantung mungkin agak cepat, gatal-gatal dan pusing.
Sistem prioritas di Jerman: Dahulukan lansia, mereka yang lemah
“Sistem prioritasnya Jerman berusaha untuk melindungi orang-orang yang lemah. Jadi ada empat level. Level pertama itu untuk orang-orang yang usianya di atas 80 tahun, yang tinggal di panti jompo.
Lalu mereka yang kerja di panti jompo, orang-orang yang kerja di ICU dan COVID-19 vaccine center, karena kemungkinan mereka terpapar penyakit COVID-19 itu tinggi, jadi mereka dianggap yang paling membutuhkan, jadi harus dan pasti dapat duluan,” demikian Anastasia menjelaskan sistem kategori pemberian vaksin di Jerman.
“Kemudian pada kelompok kedua itu terdiri dari orang-orang di atas usia 70 tahun namun di bawah 80 tahun, orang-orang yang down syndrome, dementia, itu mereka termasuk di level dua, kemudian juga orang-orang yang punya penyakit komorbid, komplikasi penyakit lainnya, yang sebenarnya bisa memberatkan tubuh mereka, terus juga yang mau transplantasi organ, karena pasien-pasien yang mau transplantasi organ itu pada dasarnya sistem mereka harus dilemahkan dulu untuk dapat organ. Lalu kategori tiga itu orang-orang di atas 60 tahun, kemudian yang sakit kronis, orang-orang yang bekerja di rumah sakit dan lembaga-lembaga kesehatan istilahnya pekerja Garda Depan — termasuk guru-guru,polisi, aparat kesehatan, aparat negara itu juga termasuk level tiga,” tambah Anastasia.
Pada level keempat atau terakhir adalah semua orang yang tidak masuk di kategori 1 sampai 3 tadi. “Mereka yang usia produktif, tidak bekerja di lembaga kesehatan, itu yang terakhir,” kata Anastasia.
Anastasia mengingatkan agar setelah divaksin, masyarakat tetap harus waspada menjaga kesehatan, mengingat jika sudah divaksin, manusia masih mungkin terkena virus.
“Kemungkinan itu selalu ada. Vaksin itu adalah salah satu cara kita untuk menjaga diri kita agar tidak sakit tapi kalaupun misalnya kita sakit, bisa kena COVID-19, itu biasanya sih karena ketika terpapar itu tubuh kita lagi lemah atau kita lagi dalam kondisi tidak optimal menjaga kesehatan, misalnya tidak pakai masker saat lagi makan-makan di kafe, ternyata ada orang positif COVID-19, kita terus kena, itu tetap mungkin. Jadi meskipun sudah divaksin itu tetap diharapkan untuk menjaga kesehatan, jaga jarak, tetap pakai masker, jaga kebersihan juga,” pungkasnya.
DW Indonesia