PIRAMIDA.ID- “Lebih baik daripada tidak.” Demikian penilaian salah seorang pakar penyakit menular terhadap vaksin COVID-19 buatan Sinovac Biotech, menyusul laporan bahwa ratusan tenaga kesehatan Indonesia yang mendapat vaksin itu tetap terjangkit COVID-19.
Menurut Ikatan Dokter Indonesia (IDI), setidaknya sepuluh dokter meninggal akibat COVID-19 meski telah mendapat dua dosis lengkap vaksin CoronaVac Sinovac. Tidak jelas seberapa luas penularan itu terjadi. Juga tidak jelas seberapa parah penularannya. Hanya sedikit data penelaahan sejawat (peer review) yang tersedia tentang vaksin itu.
Informasi yang tersedia menunjukkan bahwa vaksin itu kurang manjur dibandingkan yang lain, terutama terhadap jenis atau varian Delta yang sangat menular, yang pertama kali terdeteksi di India.
Namun vaksin yang lebih manjur belum bisa didapatkan di sebagian besar dunia, catat para ahli. Indonesia adalah salah satu dari belasan negara yang menggunakan vaksin dari pabrik di China itu, di mana vaksin yang tersedia sebagaian besar adalah vaksin Sinovac.
Keterbatasan data dari peer review mempersulit ahli untuk mengevaluasi vaksin tersebut. Meski begitu beberapa penelitian yang tersedia bisa memberikan sedikit gambaran.
Pemerintah Uruguay merilis data awal bulan ini yang menunjukkan bahwa CoronaVac mengurangi penularan COVID-19 hingga 61%, rawat inap di RS hingga 92%, dan kematian hingga 95%.
Meskipun bukan hasil studi peer review, penelitian ini adalah salah satu yang membandingkan CoronaVac dengan vaksin lain.
Pfizer-BioNTech
Dalam penelitian itu, ditemukan Vaksin Pfizer-BioNTech lebih efektif mengurangi penularan secara umum, menurunkan tingkat penularan hingga 78%. Tapi tingkat orang yang harus dirawat dan meninggal karena COVID-19 kurang lebih sama.
Tidak jelas apa varian yang dominan yang digunakan dalam penelitian itu.
Hal penting yang menentukan keampuhan vaksin adalah tingkat antibodi penetralisir virus, yaitu protein yang diproduksi oleh sistem imun yang mencegah virus merusak sel.
Vaksin Pfizer dan Moderna memproduksi banyak antibodi ini, yang membantu melindungi tubuh terhadap varian COVID-19, kata Peter Hotez, dekan National School of Tropical Medicine dan dosen di Baylor College of Medicine.
“Ya, memang ada orang-orang yang tertular varian Delta, meskipun telah divaksin, tapi cenderung tidak parah,” jelasnya. “Mereka tidak perlu dirawat atau meninggal karena COVID-19.”
“Kalau dilihat beberapa data vaksin Sinovac, tingkat antibodi penetralisir virus, bahkan setelah vaksin kedua, masih cukup rendah,” tambahnya.
Vaksin Sinovac memproduksi lebih sedikit antibodi ini dibandingkan dengan tujuh vaksin lainnya, termasuk Pfizer, Moderna, AstraZeneca dan Johnson & Johnson, menurut sebuah penelitian yang diterbitkan di Nature Medicine.
Respon antibodi ini bahkan lebih kurang efektif melawan varian Delta, yang melonjak tajam di Indonesia dan di berbagai belahan dunia lain.
Namun tidak jelas, apa dampak respon antibodi ini bagi pasien. Vaksin tetap memberikan perlindungan terhadap jenis-jenis penyakit COVID-19 yang paling parah, menurut pejabat China yang dikutip media pemerintah.
Ketika varian Delta pertama kali merebak di China, di provinsi Guangdong awal bulan ini, “tidak ada satupun kasus infeksi yang parah terjadi pada orang yang sudah divaksin, dan dalam kasus yang parah, tidak satupun yang divaksinasi,” kata Feng Zijian, mantan wakil direktur Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit China.
Sementara itu, persediaan vaksin dari produsen lain lama tiba di sebagian besar negara di dunia.
“Kadang, hanya vaksin itu yang bisa didapatkan orang-orang,” kata Hotez. “Lebih baik (pakai vaksin yang tersedia) daripada tidak sama sekali.”(*)
VOA Indonesia