PIRAMIDA.ID- Sejumlah pakar kesehatan Indonesia berpendapat bahwa ketika kebutuhan vaksin tinggi, tidak menjadi masalah apakah pasokan vaksin didapat dari impor atau produksi dalam negeri. Yang terpenting vaksin yang dipakai adalah produk yang terbaik untuk masyarakat.
Profesor Tri Wibawa, pakar Mikrobiologi, Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan (FKKMK) Universitas Gadjah Mada di Yogyakarta, menjelaskan yang menjadi masalah saat permintaan vaksin tinggi adalah kapasitas produksi.
“Jadi, kalau misalnya kita bisa amankan itu produk dalam negeri, tentu saja kita bisa memprioritaskan untuk masyarakat Indonesia. Sementara kalau kita hanya mendasarkan pada produksi luar negeri, maka dari sisi prioritas kita akan kalah dengan yang punya,” kata Tri Wibawa.
Tri Wibawa menanggapi pro-kontra seputar pengadaan vaksin COVID-19, yang disebabkan virus corona jenis baru. Seperti negara-negara lain di dunia, Indonesia berpacu dengan waktu untuk mengupayakan ketersediaan vaksin COVID-19 sesegera mungkin.
Indonesia sendiri sudah bekerja sama dengan sejumlah perusahaan pembuat vaksin untuk menguji kandidat vaksin COVID-19, beberapa berasal dari sumber impor.
Namun, tambah Tri Wibawa, jika Indonesia memutuskan menggunakan vaksin impor, selama produsen di luar negeri dapat bekerja sama menjamin ketersediaan, tidak ada hal yang perlu dipersoalkan.
Keterlibatan Produksi Penting
Bio Farma, badan usaha milik negara (BUMN) produsen vaksin, saat ini bekerja sama dengan perusahaan farmasi Sinovac asal China, dalam pengembangan vaksin corona. Kerja sama ini memungkinkan vaksin dapat diproduksi pada tahun depan. Pada sisi yang lain, Bio Farma juga sedang bekerja sama dengan Lembaga Biologi Molekuler Eijkman untuk memproduksi vaksin Merah Putih. Kerja sama ini mengagendakan produksi vaksin dalam negeri pada 2022.
Tri Wibawa menyambut baik keterlibatan Indonesia dalam uji coba vaksin produksi Sinovac. Proses ini memungkinkan otoritas pemerintah terkait dapat mengawasi prosesnya, dan menjamin vaksin yang dihasilkan aman dan efektif untuk masyarakat Indonesia.
Ada dua pertimbangan penting dalam memilih produk vaksin. Keterlibatan otoritas Indonesia dalam uji klinis penting untuk memenuhi dua kondisi itu. Pertama adalah keamanan dan efektivitas dalam pemilihan vaksin. Kedua adalah kemudahan akses terhadap vaksin itu, jika sudah terbukti menjadi produk berkualitas baik. Indonesia perlu jaminan dari produsen, terkait akses yang cukup untuk mendapatkan vaksin itu.
“Soal harga, soal kemudahan untuk penyimpanan dan pemberian itu yang belakangan,” tegas Tri Wibawa.
Manfaat lain keterlibatan Indonesia dalam proses produksi vaksin adalah transfer ilmu pengetahuan dan teknologi. Pengembangan vaksin membutuhkan waktu yang sangat lama. Ada sejumlah vaksin yang pengembangannya butuh hingga 10 tahun. Bila vaksin COVID-19 bisa dikembangkan dalam waktu dua tahun atau kurang akan menjadi sesuatu yang luar biasa.
Virus Tak Berpaspor
Pakar biologi molekuler, Ahmad Rusdan Handoyo Utomo, setuju bahwa penting bagi Indonesia untuk terlibat dalam uji klinis vaksin COVID-19 produksi luar negeri. Dia memahami kontroversi di masyarakat belakangan ini, yang menganggap relawan uji klinis vaksin menjadi kelinci percobaan. Namun, pendapat ini diyakini Ahmad Rusdan, hanya muncul di kalangan masyarakat yang memang selalu mengaitkan berbagai hal sebagai bentuk konspirasi.
“Kalau kita tidak uji klinis di Indonesia, sementara vaksin sudah mau keluar, ini pemerintah malah jadi ragu untuk deploy (mendistribusikan.red) ke masyarakat kita sendiri. Misalnya, Amerika, Eropa dan India sudah memproduksi, pertanyaannya masyarakat Indonesia siap enggak langsung dipakai? Justru itu kelinci percobaan, karena tidak dilibatkan dari awal,” kata Ahmad Rusdan.
Peneliti lulusan Harvard Medical School itu juga mengatakan, uji klinis memberi kesempatan para ahli Indonesia mengawasi langsung prosesnya di Tanah Air. Sinovac selaku produsen hanya menyediakan bahan baku. Jika ada efek samping atau hasilnya tidak bagus, dia meyakini para ahli itu akan secara jujur mengakui. Jika masyarakat ragu, Ahmad Rusdan menilai sikap itu sama dengan meragukan keahlian para peneliti Indonesia sendiri.
Para relawan, lanjut Ahmad Rusdan, juga berkontribusi besar bagi kemanusiaan. Mereka bukan kelinci percobaan. Pengorbanan dan peran relawan sangat penting bagi masyarakat. Kesehatan relawan juga dipantau sepanjang waktu sehingga tidak perlu dikhawatirkan.
Yang harus dipastikan, lanjut Ahmad Rusdan, adalah komitmen pemerintah dalam pengembangan vaksin karena riset dan pengembangan vaksin butuh biaya yang sangat besar.
Ahmad Rusan mencontohkan wabah Sindrom Pernafasan Parah Akut (Severe Acute Respiratory Syndrome/SARS) dan Sindrom Pernafasan Timur Tengah (Middle East Respiratory Syndrome/MERS). Kedua wabah itu ketika itu selesai tanpa pemakaian vaksin. Padahal industri sudah membelanjakan dana besar dalam proses pengembangannya. Pada titik inilah sebenarnya industri farmasi kadang berhitung dalam pengembangan vaksin.
Selain China, Indonesia Gandeng Korea Selatan dan CEPI Produksi Vaksin Covid-19
Ahmad Rusdan setuju bahwa tidak bisa mengaitkan isu nasionalisme dalam persoalan vaksin. Justru saat ini, para ahli dan peneliti di seluruh dunia bekerja sama erat melalui berbagai platform sosial media. Meski sebuah kajian belum ditulis dalam jurnal, para ahli sudah berbagi ilmu dan pengalaman melalui jejaring dunia maya.
“Virus ini tidak punya paspor. Jadi sebetulnya, kalau dibuat vaksin merah putih, itu sebagai penyemangat saja. Tetapi justru saya berpikirnya, Indonesia kalau membuat vaksin, berpikirnya jangan nasionalisme. Justru kita buat di Indonesia untuk dunia,” kata Ahmad Rusdan.
Sumber: VOA Indonesia/ Nurhadi Sucahyo