PIRAMIDA.ID- Membicarakan tentang hari buku, maka ada tiga negara yang dikenal dunia sebagai negara gila baca. Salah satu di antaranya, Prancis.
Namun, sejarah mencatat bahwa peningkatan pesat di bidang ilmu pengetahuan Prancis dimulai dengan sebuah pergolakan besar yang menarik perhatian dunia. Revolusi Prancis, yang mengubah sejarah Prancis serta menjadi momok yang mengerikan bagi negara-negara monarki absolut.
Bagaimana tidak, sebuah kerajaan yang kuat selama berabad-abad bisa terguncang oleh revolusi rakyatnya, hingga berubah menjadi negara demokrasi. Sebuah tragedi kelam namun memengaruhi sejarah dunia, khususnya Eropa.
Keadaan Prancis (saat itu masih kerajaan) mulai memanas sebelum pengangkatan Raja Louis XVI. Kecurangan, korupsi, perlakuan semena-mena oleh kerajaan terhadap rakyat, dan sebagainya yang menjadi pemicu utama. Namun, gelombang perlawanan dari rakyat dimulai dari sebuah diskusi-diskusi kecil yang kerap digelar di setiap sudut Prancis.
Dan semua bermula dari buku yang diterbitkan tahun 1759 berjudul Candide. Voltaire, sastrawan dan filsuf asal Prancis yang menulis novel satir itu. Novel itu tidak diterbitkan di Prancis, tapi di Swiss. Bahkan, beberapa sumber menyebutkan bahwa Voltaire juga mengirimkan naskahnya ke Inggris untuk diterbitkan.
Setelah diterbitkan di Swiss dan menjadi bahan perbincangan hangat, barulah novel tersebut diterbitkan dalam Bahasa Prancis dan akhirnya mengguncang Prancis.
Novel ini bercerita tentang seorang bernama Candide yang tinggal di Jerman, serta memiliki kekasih bernama Cunegonde. Candide berlajar dengan seorang guru bernama Pangloss yang kemudian mengajarkannya paham optimisme menghadapi dunia yang penuh carut marut, musibah, ketidakadilan, dan omong kosong.
Secara tidak langsung, novel ini mengusung premis bahwa dunia merupakan sebuah distopia dan kekejaman manusia yang menjadikan dunia ini semakin hancur dan tak keruan. Tuhan menciptakan dunia dengan sebaik-baiknya, tapi manusia menghancurkannya.
Karena itulah, tersirat pula bahwa Voltaire ingin kesewenang-wenangan yang dibuat oleh manusia itu harus dilawan oleh manusia lainnya. Voltaire dengan bahasa yang karikatural menertawakan agama, negara, tentara, filsuf, dan (khususnya) pemikiran optimisme-nya Leibnizian.
Pandangan optimisme Leibnizian yang juga diajarkan oleh Pangloss pada Candide dikenal sebagai teodisi (teodise). Optimis dimulai dengan kepercayaan bahwa Tuhan adalah sesempurna-sempurnanya pencipta. Maka karena itu, dunia dengan segala yang terjadi di atasnya adalah segala kemungkinan yang terbaik, karena Tuhan Maha Tahu. Tuhan juga tidak “sewenang-wenang” memberikan sakit, bencana, dan penderitaan pada manusia karena semuanya adalah pilihan yang terbaik. Maka dunia yang kita tempati saat ini adalah dunia yang terbaik bila dibandingkan dengan berbagai kemungkinan dunia lainnya.
Namun Voltaire lewat Candide-nya, tidak bisa menerima hal itu begitu saja. Voltaire yang juga dikenal deism ini menolak bahwa “manusia harus menerima dunia sebagaimanapun yang terjadi, karena dunia ini adalah dunia yang terbaik dari semua dunia yang mungkin ada.”
Menurut Voltaire, dunia harus “diolah”, agar tidak semakin memburuk. Bencana yang terjadi bisa saja tidak begitu buruk, namun kesewenang-wenangan manusia menjadikannya semakin buruk. Maka, sebenarnya bagi Voltaire, dunia bisa menjadi “lebih baik lagi” dengan campur tangan manusia. Termasuk kenyataan bahwa Prancis dipimpin oleh seorang raja dan para bangsawan yang korup dan sewenang-wenang, itu bukan sertamerta keputusan Tuhan. Karena itu, masih bisa diubah dan direkonstruksi.
Hasilnya adalah, pecah revolusi Prancis di era tahun 1700-an akhir hingga 1800-an awal. Selama 100 tahun yang kelam itu, kerajaan Prancis tumbang oleh revolusi. Dampak buruknya, mereka harus membangun lagi sebuah negara dari awal. Dampak baiknya, perkembangan ilmu pengetahuan berkembang pesat, hingga hari ini. Khususnya, budaya literasi, yakni membaca, menulis, berdiskusi, dan belajar.(*)
Pojok Seni