Oleh: Hero Marhaento*
PIRAMIDA.ID- Wacana sejumlah pihak untuk menjadikan kelapa sawit sebagai tanaman hutan semakin riuh. Hal ini ditandai dengan rampungnya naskah akademik yang disusun sejumlah akademikus Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University bekerja sama dengan Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo). Naskah tersebut, yang mencuat ke publik pekan lalu, menghasilkan rekomendasi peralihan status sawit dari tanaman perkebunan menjadi tanaman hutan.
Berdasarkan dokumen naskah akademik yang saya terima, peralihan status sawit dari tanaman perkebunan menjadi tanaman hutan dianggap menjadi solusi pemulihan hutan yang terdegradasi. Dokumen juga diharapkan menjadi basis ilmiah untuk menyelesaikan persoalan sawit dalam kawasan hutan.
Alasan tersebut sangat disayangkan. Sebab, masih ada cara-cara lain untuk memulihkan hutan yang lebih bermanfaat bagi ekosistem dan para petani sawit.
Alih-alih bermanfaat, peralihan status ini justru berisiko menimbulkan lebih banyak kerugian bagi Indonesia.
Peralihan status untuk siapa?
Hingga saat ini, Indonesia masih berjuang untuk memperbaiki tata kelola perkebunan sawit.
Pada 2019, lembaga nirlaba yang berfokus pada pelestarian lingkungan, Yayasan Kehati, mengemukakan ada 3,4 juta hektare (ha) kebun sawit dalam kawasan hutan. Dari angka tersebut, hanya sekitar 700 ribu ha yang dikelola oleh petani skala kecil (smallholders). Sisanya diduga dikuasai oleh korporasi maupun pelaku usaha individu dengan kapasitas finansial yang besar.
Pembukaan perkebunan juga diduga tak melalui jalur legal, seperti izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH) ataupun skema lainnya.
Selain di kawasan hutan, kajian Komisi Pemberantasan Korupsi pada 2016 menyebutkan, kawasan hak guna usaha (HGU) perkebunan kelapa sawit juga tumpang tindih dengan izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dalam hutan alam maupun hutan tanaman industri. Luasnya masing-masing 349 ribu ha dan 534 ribu ha. Kalimantan Timur dan Utara menjadi provinsi dengan tumpang tindih sawit dengan sektor usaha kehutanan terluas.
Hal ini juga belum dihitung dengan kebun sawit yang ‘tiba-tiba muncul’ di konsesi perusahaan sektor kehutanan karena ada sebagian kawasannya yang ditelantarkan.
Nah, jika pemerintah mengesahkan peralihan status sawit menjadi tanaman hutan, maka keberadaan sawit di konsesi perusahaan tersebut kemungkinan bakal menjadi legal. Hal tersebut diprediksi menciptakan peluang bisnis baru bagi perusahaan-perusahaan sektor kehutanan.
Sebagian konsesi sektor kehutanan yang belum dirambah juga berkesempatan untuk ditanami sawit baru. Hal ini berisiko melepaskan emisi gas rumah kaca ke atmosfer. Studi bahkan menyebutkan jumlah emisi yang terlepas akibat penanaman sawit baru, khususnya di lahan gambut, bisa mencapai dua kali lipat dibanding kebun sawit lama.
Bukan hanya itu, dalam segi perekonomian, upaya perluasan kebun sawit korporasi juga berpotensi mematikan petani kecil. Sebab, harga akan rawan anjlok apabila terjadi kelebihan pasokan (oversupply) tandan buah segar/TBS sawit. Hal ini membuat petani kecil semakin rentan.
Bagi petani kecil, usulan ini sama sekali tidak memberikan keuntungan. Sebab, persoalan bagi sebagian besar petani sawit skala kecil adalah aspek legalitas – yang sudah ada skema jalan keluarnya melalui Perhutanan Sosial.
Dengan memasukkan sawit sebagai tanaman hutan atau tidak, jika aspek legalitas lahan tidak diperhatikan, maka petani tetap akan kesulitan menjual hasil kebunnya kepada pabrik-pabrik besar yang mensyaratkan pembelian tandan sawit dari perkebunan yang legal.
Mengganggu upaya perbaikan tata kelola
Pemerintah sebenarnya sudah menerbitkan sejumlah kebijakan untuk perbaikan tata kelola sawit. Misalnya, kebijakan moratorium penerbitan izin sawit baru yang berlaku sejak 2018 hingga September 2021.
Tahun lalu, pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan, dan Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 2021 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif dan Tata Cara Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berasal dari Denda Administratif di Bidang Kehutanan.
Aturan tersebut mengatur penyelesaian tumpang tindih sawit sebagai kawasan hutan. Petani sawit dapat melegalkan perkebunannya dengan cara mengajukan skema perhutanan sosial kepada pemerintah. Perhutanan sosial adalah pemberian hak pengelolaan hutan yang berkelanjutan dari negara kepada masyarakat (desa, masyarakat adat, ataupun kelompok tani).
Setelah memperoleh hak pengelolaan tersebut, petani diwajibkan menerapkan strategi jangka benah. Skema ini mensyaratkan pemulihan ekosistem hutan yang terlanjur ditanami sawit harus ditanami tanaman lainnya dengan cara wanatani (agroforestry) selama waktu tertentu.
Pohon yang ditanam juga harus memenuhi beragam kriteria seperti berakar dalam untuk mengembalikan fungsi hidrologis (tata air) suatu kawasan, serta fungsi dan struktur ekosistem hutan. Aspek lainnya adalah, pohon mesti berumur panjang, mudah dibudidayakan, dan bernilai ekonomi tinggi. Faktor asal pohon yang berasal dari jenis endemik setempat juga harus masuk dalam pertimbangan.
Beberapa pohon yang memenuhi kriteria tersebut misalnya: jengkol, cempedak, petai, durian, ataupun meranti.
Didukung sejumlah bukti ilmiah, strategi jangka benah dapat menjaga kelangsungan budi daya kelapa sawit sekaligus memulihkan fungsi kawasan hutan yang terdegradasi akibat perkebunan monokultur (sejenis).
Sebaliknya, jika usulan sawit menjadi tanaman hutan disetujui, maka pemilik kebun sawit yang tumpang tindih berisiko terbebas dari kewajibannya memulihkan kondisi hutan. Akibatnya degradasi lingkungan akibat perkebunan sawit monokultur terus berlangsung tanpa pertanggungjawaban yang sepadan. Kerusakan juga bisa terus meluas.
Dampak lainnya adalah, aturan perbaikan yang sudah diinisiasi pemerintah untuk menengahi persoalan kesejahteraan petani sawit dan lingkungan berisiko jalan di tempat.
Perlu mengutamakan kepentingan lingkungan
Sawit memiliki banyak nilai tambah yang bermanfaat bukan hanya bagi petani, tapi juga masyarakat sebagai pengguna. Kontribusi komoditas ini terhadap penerimaan negara, langsung maupun tak langsung, juga tidak bisa dianggap sebelah mata.
Namun, hal itu bukan menjadi alasan untuk menafikan persoalan tata kelola perkebunan sawit yang berdampak pada kelangsungan lingkungan. Butuh langkah yang harmonis dari pemerintah, petani sawit, dan perusahaan untuk menyelaraskan aktivitas perkebunan kelapa sawit dengan kelestarian ekosistem.
Patut diingat bahwa Indonesia juga termasuk sebagai negara yang berkomitmen menekan angka deforestasi pada 2030 mendatang. Tentunya, segala upaya termasuk melalui penerbitan kebijakan terkait sawit, harus sejalan dengan komitmen tersebut.
Persetujuan sawit menjadi tanaman hutan akan membuat dunia internasional mempertanyakan komitmen Indonesia untuk menjaga ekosistem dan mengembalikan kekayaan biodiversitas. Karena itu, perlu ada keputusan yang berbasis temuan-temuan ilmiah serta dialog dengan berbagai pemangku kepentingan.(*)
Tulisan pertama kali terbit di The Conversation.