Gading Simangunsong*
PIRAMIDA.ID- Pesta demokrasi pemilihan kepala daerah (Pilkada) di 270 daerah secara serentak se-Indonesia telah terselenggara dengan baik pada 9 Desember 2020 lalu.
Pilkada yang sempat diundur dari 9 September 2020 ini mendapat apresiasi dari dunia internasional dengan tingkat partisipasi pemilih 76% dengan kata lain, sekitar 77 juta pemilih antusias menggunakan hak pilihnya ke TPS, walau pilkada ini sempat melahirkan keraguan dan kritikan karena diselenggarakan dimasa pandemi Covid-19 yang mengganggu stabilitas kesehatan nasional.
Perhari ini, rangkaian penyelenggaraan pilkada telah mencapai tahap akhir, yakni penetapan pasangan calon di seluruh daerah yang menyelenggarakan pilkada serentak — ada beberapa daerah yang masih berurusan dengan sengketa di MK.
Lantas, menjadi refleksi bagi kita hari ini adalah bagaimana wajah dan arah pembangunan Indonesia ke depan pasca Pilkada Serentak 2020?
Pilkada yang usai kemarin telah membuktikan bahwa arah demokrasi bangsa kita telah perlahan berubah dari otoritarian (di bawah tapak sepatu) ke demokrasi liberal. Salah satu cirinya bahwa penyelenggaraan pilkada kemarin berasas pada prinsip luberjurdil, yang memberi ruang sebebas-bebasnya bagi warga negara, bak panggung bebas tanpa dominasi, ekspresif, serta mengandung hegemoni pesta rakyat, seremonial dan pencitraan-pencintraan moralitas.
Dalam kasus ini, kita tidak lagi mendapati intimidasi terstruktur atau mobilisasi seperti zaman Orba.
Keterbukaan demokrasi ini sejalan dengan fenomena teknologi-informasi yang pesat, yang menjadi dimensi baru bagi proses pesta demokrasi. Tak bisa dipungkiri, kemudahan akses menjadi primadona bagi tim sukses maupun calon.
Selain itu media sosial menjelma menjadi ruang untuk pertarungan opini yang bisa membentuk framing di masyarakat demi tercapainya popularitas atau naik pamor oleh calon yang harus dimenangkan.
Demokrasi liberal juga menjadi “angin segar” bagi masuknya korporat profesional dalam ruang demokrasi dan pemilu kita; kini urusan demokrasi dan politik telah melibatkan kaum profesional seperti NGO/LSM, pers dan konsultan politik.
Ke depan, kaum profesional ini akan semakin menancapkan kukunya dan semakin sentral berperan dalam proses demokrasi.
Kondisi ini makin diperparah kala pesta demokrasi telah menjadi komoditi ekonomi yang di dalamnya terdapat transaksi politik. Sederhananya uang adalah segalanya dalam proses politik. Anda tidak memerlukan sekolah pengkaderan, kursus ideologi, jenjang karier yang jelas di partai atau bahkan berbicara rekam jejak seorang calon.
Anda hanya perlu mengeluarkan uang banyak untuk mencapai popularitas (red: pencitraan) karena memenangkan popularitas berarti memenangkan pilkada.
Fenomena politik uang alias money politics menjadi bukti bahwa politik transaksional sudah membudaya di masyarakat dan bisa dilihat dengan mata telanjang. Pasca reformasi setiap pemilihan mulai dari Pileg 2004, 2009, 2014 dan Pilkada 2005, 2010, 2015 hingga saat ini masih sarat politik uang.
Bawaslu RI sendiri mencatat 104 kasus yang ditanganinya pada Pilkada 2020. Fenomena politik transaksional ini bakal semakin kental karena kegagalan parpol untuk melahirkan pengkaderan dengan baik, penegakan hukum yang hanya fokus menghukum pemberi, sekolah politik yang rendah serta budaya suap yang telah “Indonesia banget”.
Doktrin liberalisme dalam demokrasi dibuktikan dengan kemesraan penguasa dan pengusaha; panggung politik sejatinya hanya bisa dikuasai elit dan segala kepentingannya baik selaku aktor maupun otak di balik layar. Dalam kasus ini, rakyat akan menjadi objek politik belaka ketika benang-merah pilihan hanya ditarik dari sudut “siapa yang cair” bukan lagi soal gagasan, ideologi bla-bla-bla.
Jika berkaca dari hari ini, apa yang terjadi sekarang tak bakal ada ubahnya dan bahkan semakin parah di kemudian hari. Proses demokrasi seperti ini tidak akan melahirkan politikus sejati, melainkan hanya segelintir elite (pengusaha, investor, dokter, anaknya menteri, istrinya bupati bahkan perampok) berkedok politisi karbitan, tentu saja dengan narasi bahwa mereka semua di atas adalah kader terbaik partai yang pro-rakyat.
Populisme
Fenomena populisme dalam praktik berdemokrasi menjadi senjata ampuh sekelompok orang untuk mengkultuskan seorang pemimpin yang karismatik dengan narasi-narasi kegelisahan rakyat.
Gerakan populis sering kali membedakan dirinya dengan kaum lain (elite), dan menempatkan dirinya sebagai korban yang menuntut perbaikan atas ulah kaum lain (elite) yang menyebabkan kesusahan bagi mereka. Kehadiran populisme di negeri ini ditandai dengan kelahiran tokoh-tokoh yang dianggap populis yang kebanyakan lahir dengan identitas agamis dan terpelajar.
Populisme dalam demokrasi berkaitan dengan kepentingan. Umumnya gerakan ini dibangun oleh identitas tertentu yang memiliki tujuan untuk mencapai cita-cita kelompoknya, bukan cita-cita masyarakat luas.
Orientasi populisme mengalami pergeseran, karena dalam hal ini gerakan populisme hanya berpotensi membuat perpecahan sesama anak bangsa, gerakan populismea hari ini dibalut dengan politik identitas mengatasnamakan agama tertentu, kelompok tertentu yang menempatkan dirinya sebagai kaum/korban dari kelompok berkuasa.
Biasanya untuk memuluskan modusnya gerakan ini memanfaatkan kekuatan massa yang banyak untuk dimobilisasi demi terciptanya opini publik yang memancing perlawanan terhadap penguasa, tetapi tak sampai di situ saja melainkan gerakan ini telah bermetamorfosa menjadi gerakan terstruktur yang memiliki agenda politik; ke depan bakal ditandai dengan banyak lahirnya partai atau ormas-ormas baru sebagai kanal aspirasi gerakan dalam pentas politik nasional.
Baik politik transaksional maupun populisme yang berpotensi mengganggu keutuhan bangsa adalah tantangan bagi demokrasi khususnya pemilu ke depan.
Baiknya masyarakat dapat belajar dari pemilu-pemilu sebelumnya agar rasional dalam menentukan pilihan yang berkualitas. Hal ini bisa dimulai dari gerakan untuk menolak politik uang dan politik identitas berbau SARA dalam setiap ajang pesta demokrasi atau pemilu.
Meski mencari pemimpin ideal terasa sulit dari calon yang tersedia ditengarai gagalnya partai mempersiapkan kader/calon yang kompeten, namun, paling tidak dengan menggunakan hak pilih dengan hati-hati kita telah memenuhi kewajiban konstitusional.(*)
Penulis adalah anggota GMKI Pematangsiantar-Simalungun, lahir di Pematangsiantar, 20 April 2000.