Tomson Sabungan Silalahi*
PIRAMIDA.ID- Tidak dapat dipungkiri, Covid-19 telah meluluhlantahkan kehidupan umat manusia di seluruh dunia tanpa terkecuali; baik negara maju, berkembang, maupun negara yang masih tertinggal. Sudah banyak kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan untuk menekan angka penyebaran Covid-19 ini. Setiap negara memiliki kebijakannya sendiri sesuai dengan kondisi negaranya masing-masing.
Negara yang kebetulan bisa me-lockdown negaranya karena memiliki kekayaan yang cukup untuk memberikan subsidi bagi masyarakat agar tidak mati kelaparan walau harus menanggung beban biaya yang tidak sedikit, namun untuk menjamin kesehatan masyarakatnya, negara-negara itu harus melakukannya tanpa memikirkan kurva ekonomi yang mungkin akan menukik tajam.
Ada pula negara yang setengah-setangah hati antara mengunci semua perbatasan agar orang dari luar negaranya tidak masuk dan warga negaranya tidak keluar masuk namun karena memikirkan kurva ekonomi menjadi sedikit longgar dengan kebijakan-kebijakan tertentu yang menurut mereka bisa menekan penyebaran virus ini tanpa mengorbankan ekonominya.
Semua keputusan (baca: kebijakan) tentu harus menakar dari semua data yang ada dan keputusan itu sendiri memiliki konekuensinya masing-masing dan hal itu harus dipikirkan secara matang.
**
Hampir satu tahun setengah sejak diumumkan secara resmi Covid-19 berada di Indonesia. Berbagai kebijakan telah diambil untuk memutus rantai penyebaran virus ini. Entah karena kebijakannya kurang tepat atau karena orang-orang yang menjalankan kebijakannya sendiri yang tidak bijak melaksanakan kebijakannya, atau karena masyarakat yang acuh tak acuh dengan kebijakan-kebijakan itu, satu hal yang pasti orang yang terinfeksi Covdi-19 ini semakin banyak bahkan persentasenya semakin meningkat.
Mengingat hal itu, pada tanggal 10 Agustus 2021 akhirnya Pemerintah Kota Pematangsiantar secara resmi mengeluarkan Surat Edaran bernomor 440/4013/VIII/2021 tentang Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat Berbasis Mikro Pada Level 4 Dalam Rangka Antisipasi Lonjakan Penyebaran Corona Virus Disease 2019 di Kota Pematangsiantar.
Sekilas kebijakan itu sangat masuk akal, namun pada poin 15 disebutkan: Pelaku perjalanan domestik yang menggunakan mobil pribadi, sepeda motor dan transportasi umum jarak jauh (pesawat udara, bis, kapal laut dan kereta api) harus: a. Menunjukkan kartu vaksin (minimal vaksinasi dosis pertama). Sampai di sini, jelas bahwa semua orang (selain pengecualian yang disebutkan pada huruf d poin ini) yang ingin melakukan perjalanan domestik “harus” memiliki kartu vaksin.
Kebijakan ini tentu saja kebijakan yang tidak bijak, pasalnya, belum semua orang mendapatkan vaksin; bukan karena mereka tidak mau divaksin namun karena vaksin masih sangat langka terutama di Pematangsiantar. Pada tanggal 23 Juli 2021, dikutip dari laman regional.kompas.com disebutkan Indonesia sudah menerima 151,9 juta dosis vaksin, artinya Indonesia masih sangat kekurangan vaksin secara nasional jika dibandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia saat ini.
Data dari https://covid19.sumutprov.go.id/ juga menyatakan jika Provinsi Sumatera Utara masih belum memenuhi target vaksinasi, dari 11.419.555 target vaksinasi 1, 2, 3 vaksin dosis 1 sementara masih diterima 17,36% atau 1.982.246 di seluruh Sumatera Utara, sementara di Kota Pematangsiantar sendiri masih berada di 22,86% dari total penerima dosis pertama di seluruh wilayah Sumatera Utara.
Selanjutnya, pengecualian pada huruf d poin 15 kebijakan ini untuk supir kendaraan logistik dan transportasi barang lainnya sebenarnya sudah menegasikan kebijakan kepemilikan kartu vaksin itu sendiri. Pengecualian ini seolah mengatakan bahwa para supir itu kebal virus. Jika ingin logistik dan barang lainnya bisa tetap tersalur karena alasan tertentu maka seharusnya para supir inilah yang diutamakan untuk diberikan vaksin agar mereka bisa tetap bekerja dan logistik tetap bisa tersalurkan dengan baik.
Kerancuan ini belum selesai sampai di sana, belum lagi kalau kita memikirkan orang-orang yang tidak bisa divaksin karena memang mereka tidak bisa divaksin dengan alasan kesehatan mereka yang tidak memungkinkan untuk dapat vaksin, tentu saja kebijakan ini sudah melanggar hak mereka untuk melakukan perjalanan.
Kita belum tahu keperluan-keperluan mendesak seseorang untuk melakukan perjalanan, jika kartu vaksin ini diberlakukan dengan pertimbangan kelangkaan vaksin, maka kebijakan ini jelas-jelas bukanlah kebijakan yang bijak dan diskriminatif.
Saya tentu belum lupa ketika mendapat kabar dari mulut ke mulut (tidak ada pengumuman resmi) tentang adanya vaksinasi massal di daerah saya. Ada banyak orang yang juga mendapat kabar itu dari mulut ke mulut datang ke lokasi vaksinasi tanpa memiliki kupon sebagai syarat untuk mendapatkan vaksin yang ternyata sudah dibagikan sebelumnya, entah siapa yang membagi dan apa kriteria orang-orang yang mendapat bagian kupon itu.
Sementara saya curhat di sosial media saya tentang langkanya vaksin di sini, teman-teman di Jakarta menganjurkan saya untuk datang ke Jakarta karena di sana (katanya) ada banyak vaksin dan memang beberapa kali saya mendapatkan informasi secara terbuka (terutama melalui flyer yang tersebar di media sosial) mengenai adanya vaksinasi massal di sana.
Sebagai penutup, pada laman https://www.antaranews.com/ tertanggal 6 April 2021, WHO melalui juru bicaranya, Margaret Harris menyatakan, “…pada tahap ini kami tidak ingin melihat paspor vaksinasi sebagai persyaratan untuk masuk atau keluar karena kami tidak yakin pada tahap ini bahwa vaksin tersebut dapat mencegah penularan.” Artinya dengan mendapatkan vaksin seseorang masih mungkin untuk menularkan virus ini.
Kalau demikian, untuk apakah kebijakan memiliki kartu vaksin ini diterapkan selain untuk semakin meresahkan masyarakat yang sudah lama resah karena virus ini?(*)
Penulis merupakan Warga Siantar-Simalungun. Alumnus FKIP Universitas Simalungun.