PIRAMIDA.ID- Wakil Menteri Hukum dan Ham, Prof Edward Omar Syarif Hiariej rupanya gerah dengan polemik soal ancaman pidana bagi masyarakat yang menolak vaksin Covid 19. Menurutnya, pidana adalah sebuah pilihan, yang posisinya paling akhir jika seluruh upaya sudah dilakukan. Pemerintah tidak memiliki niat memenjarakan penolak vaksin, apalagi jumlah narapidana sendiri sudah melebihi kapasitas penjara.
“Penjara kita sudah over capacity sampai 149 ribu, kalau masing-masing tidak mau vaksin kemudian dimasukkan ke dalam penjara, mau berapa lagi over capacity penjara itu. Jadi ini adalah pemahaman yang keliru menafsirkan peryataan saya, seolah-olah begitu orang tidak mau vaksin, kemudan dia dijatuhi pidana penjara atau denda dan lain sebagainya,” kata Hiariej.
Dalam diskusi Vaksinasi Covid 19 dari Perspektif Hukum: Hak atau Kewajiban, dia menguraikan dengan detil pandangan pemerintah soal ini. Diskusi ini diselenggarakan Kagama Bantuan Hukum (KBH), Pimpinan Pusat Keluarga Alumni Gadjah Mada (Kagama), Sabtu (16/1) sore.
Antara Hak dan Kewajiban
Menurut Hiariej, ada dua pandangan soal vaksin ini. Merujuk pada UU Kekarantinaan Kesehatan dan UU Wabah Penyakit, maka vaksin merupakan kewajiban. Tetapi merujuk kepada UU Kesehatan, vaksin menjadi hak. Yang menjadi catatan, sesuai pasal 28 J UUD 1945, pelaksanaan hak itu bisa dibatasi.
Dalam konteks hukum, pandemi Covid 19 adalah suatu daya paksa. Secara teori, ada tiga daya paksa yaitu daya paksa absolut, daya paksa relatif, dan keadaan darurat. Kaitannya dengan Covid 19, status masing-masing kasus berbeda. Dalam kasus vaksin, Hiariej meyakini kondisi ini masuk dalam keadaan darurat.
“Dalam kasus kewajiban warga negara untuk vaksin, Covid 19 ini adalah keadaan darurat. Mengapa saya tegas mengatakan itu? Karena di dalam doktrin hukum pidana, keadaan darurat itu paling tidak ada tiga, terjadi bencana alam, adanya huru-hara dan ketiga wabah peyakit. Covid 19 ini adalah wabah penyakit,” paparnya.
Status ini tidak memerlukan pernyataan resmi negara, karena seluruh dunia sudah tahu bahwa pandemi kali ini adlah suatu keadaan darurat. Hiariej melanjutkan, ketika vaksin menjadi kebijakan pemerintah, dalam konteks keadaan darurat berlaku postulat berbunyi “necessitas non habet legem”. Maknanya, dalam keadaan darurat, hukum itu tidak berlaku.
Karena postulat itulah, hak seseorang untuk mendapatkan vaksin atau tidak, sebagaimana diatur pasal 5 UU Kesehatan, berubah menjadi suatu kewajiban.
“Karena dalam rangka melindungi kepentingan yang lebih besar. Kepentingan siapa yang lebih besar di sini? Kepentigan kesehatan seluruh masyarkat Indonesia,” kata Hiariej memberi alasan.
Dari runutan logika itulah, secara normatif mereka yang menolak vaksin bisa dipidana. Hanya saja, jika ditanya apakah perlu dipidana atau tidak, Hiariej menegaskan tindakan itu tidak diperlukan. Alasan hukumnya, karea UU Wabah Penyakit, UU Kesehatan dan UU Kekarantinaan Kesehatan adalah hukum administratif yang kebetulan diberi sanksi pidana. Fungsi sanksi pidana dalam konteks ini menjai senjata pamungkas atau dalam doktrin hukum pidan disebut sebagai ultimum remedium.
“Sebagai sarana yang paling akhir dalam menegakkan hukum pidana, jika pranata hukum lainnya tidak lagi berfungsi. Meski bisa dipidana, tetapi kewajiban vaksin yang dicanangkan pemerintah sama sekali tidak ada niat atau maksud untuk memidana atau memenjara orang yang tidak mau vaksin,” lanjutnya.
Keselamatan Rakyat Hukum Tertinggi
Ketua Umum DPN Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi), Otto Hasibuan menyimpulkan, bahwa vaksin adalah hak sekaligus kewajiban warga negara. Berbicara dalam diskusi yang sama, Otto mendasarkan pendapat itu pada ungkapan terkenal salus populi suprema lex esto atau keselamatan rakyat merupakan hukum tertinggi bagi satu negara.
“Inilah yang dijadikan pedoman oleh negara, oleh pemerintah kita pada waktu terjadi Covid di Wuhan. Untuk mewujudkan ini, pemerintah, presiden kita mengirim pesawat terbang ke Wuhan untuk menjemput semua warga negara yang ada di sana, karena bagaimanapun pemerintah mempunyai kewajiban untuk menjamin keselamatan rakyatnya,” papar Otto memberi contoh penerapan prinsip itu.
Dalam kajian dasarnya, Otto menempatkan pasal 28 H ayat 1 UUD 1945 dalam menerapkan prinsip yang disampaikan oleh Marcus Tullius Cicero itu. Pasal 28 H ayat 1 berbunyi: Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapat lingkungan hidup baik dan sehat dan serta berhak memeperoleh pelayaan kesehatan.
Pada pasal itu, jelas tertera kewajiban pemerintah menjaga masyarakat dan memberikan pelayanan. Posisi vaksin sebagai hak dan kewajiban, dapat dilihat dalam uraian lebih rinci mengenai isi pasal tersebut.
“Mewajibkan warga negara untuk melakukan vaksinasi, bukanlah pelanggaran HAM,” tegas Otto.
Dalam pasal 5 ayat 3 UU Kesehatan, disebutkan bahwa: Setiap orang berhak secara mandiri dan bertanggung jawab menentukan sendiri layanan kesehatan yang diperlukan bagi dirinya. Ini adalah pasal paling populer di media sosial, yang diperdebatkan oleh mereka yang pro dan kontra terhadap vaksinasi. Otto berpesan, masyarakat harus hati-hati membaca pasal ini.
“Mandiri itu, dia punya hak untuk menentukan sendiri pelayanan, tetapi dia tidak bebas sebebas- bebasnya melaksanakan kemandirian itu, sampai melanggar hak asasi orang lain. Ini yang harus dipahami,” ujarnya.
Dalam kasus vaksin, masyarakat tidak boleh hanya berpedoman pada UU Kesehatan, tetapi juga harus membaca UU Kekarantinaan Kesehatan dan UU Wabah Penyakit. Meski begitu, Otto menyatakan tidak setuju apabila penolak vaksin menerima sanksi pidana, walapun secara asas memungkinkan. Dia menegaskan, yang bisa dipidana adalah mereka yang sengaja menghalang-halangi orang lain untuk divaksin atau sengaja menghalangi orang lain untuk menanggulangi wabah Covid 19.(*)
VOA Indonesia