PIRAMIDA.ID- Sarkasme Wiji Thukul kepada penguasa bisa sangat personal. Pada 1980-an, ketika mengirim puisi ke sejumlah media, ia membeli banyak perangko bergambar Presiden Soeharto, dan saat stempel pos mulai memukul-mukul badan perangko dengan muka Soeharto di amplop berisi lembaran puisi-puisinya, Thukul bisa sangat menikmati momen tersebut.
“Dia puas kalau menonton perangko gambar Soeharto dipukuli sama tukang pos,” kata adik Thukul, Wahyu Susilo, disertai hentakan tawa.
Usia Thukul dan Wahyu terpaut empat tahun. Mereka lahir dari keluarga miskin di pinggiran Kota Solo, Jawa Tengah. Ayah mereka tukang becak, ibunya yang mengatur urusan rumahtangga. Hingga kini tak ada foto masa kecil bersama keluarganya. Satu-satunya foto yang mereka punya hanyalah pas foto ijazah sekolah formal.
Thukul sempat mencecap bangku Sekolah Menengah Karawitan Indonesia Jurusan Tari. Namun itu tak diteruskan. Sebagai anak sulung, ia memilih untuk mengalah agar biaya sekolah diberikan kepada adik-adiknya.
Setiap sore Thukul menjalani pekerjaan calo tiket bioskop. Terkadang ia juga ikut menjual mainan anak-anak di acara-acara seperti Sekaten, Malaman Sriwedari, maupun Bulan Ramadan.
“Sejak kecil kami harus mencari nafkah tambahan. Saya tidak pernah menikmati kemewahan punya mainan,” ucap Wahyu.
Kondisi sosial melahirkan karya Thukul bernada suasana emosional yang kompleks. Campuran antara kebahagiaan dan kegetiran. Rasa haru sekaligus protes kuat. Perlawanan rakyat kecil. Pemberontakan dan keberanian. Thukul menjadi bagian dari masyarakat bawah yang suaranya hanya dibutuhkan saat perayaan Pemilu saja.
Thukul adalah suara akar rumput di bawah kekuasaan yang memiskinkan mereka. Ia tumbuh dalam didikan sastra dan budaya secara otodidak dan mandiri. Kali pertama ia sadar bahwa karya sastra bisa membuat cemas pemerintah saat diundang membacakan puisi di perayaan 17 Agustus 1982.
Ia menyindir kemerdekaan yang hanya dinikmati segelintir orang, yang akhirnya mitos belaka. Puisi berjudul “Kemerdekaan” itu pendek saja: “Kemerdekaan adalah nasi. Dimakan jadi tai.”
Keesokan harinya, panitia penyelenggara di salah satu kampung daerah Solo itu dipanggil ke kelurahan. “Itu pertama dia mengalami represi, tapi perlawanannya jalan terus,” ujar Wahyu.
Beberapa tahun kemudian, Thukul terlibat dalam advokasi kaum miskin dan buruh perkotaan. Ia menjadi pimpinan Jaringan Kerja Kesenian Rakyat (Jakker). Ini organisasi yang bergerak melawan pemerintahan represif Orde Baru melalui jalur kesenian rakyat. Pada 22 Juli 1996, Thukul berangkat ke Jakarta. Ia turut menggabungkan Jakker dengan beberapa organisasi lain, embrio Partai Rakyat Demokratik (PRD).
Di struktural PRD, Thukul adalah Ketua Divisi Propaganda dan editor Suluh Pembebasan, suplemen kebudayaan partai. Para aktivis PRD dan jaringan pro-demokrasi lebih luas mendesak agar Soeharto menghapuskan paket 5 Undang-undang Politik, UU Anti-Subversi, UU Pokok Pers, dan Dwi Fungsi ABRI.
Dalam perumusan deklarasi partai, Thukul beberapa kali menyela rekan kerjanya yang menyampaikan pendapat teoritis atau mengawang-awang. Kala itu mata kanan dan kantung matanya masih terluka akibat poporan senjata tentara kala memimpin pemogokan buruh PT Sritex Sukoharjo, Jawa Tengah, akhir tahun 1995.
“Itu pas hari HAM ada demonstrasi buruh. Sekitar 15 ribu buruh (jadi peserta aksi),” ujar Wahyu mengenang aksi mogok itu yang nyaris bikin buta salah satu mata kakaknya.
Selang lima hari, PRD yang baru tumbuh dibabat oleh kaum loyalis Soeharto. Pada 27 Juli 1996, kelompok pro-Soeharto menyerang kantor pusat Partai Demokrasi Indonesia di bilangan Diponegoro, Jakarta Pusat. Saat itu Megawati menjadi simbol perlawanan terhadap Orde Baru.
Penyerangan ini menghajar para aktivis pro-demokrasi, termasuk para penggiat PRD, yang mendukung Megawati menjadi Ketua Umum PDI. Kubu PDI boneka Soeharto berupaya menggagalkan rencana tersebut dan merebut kantor partai. Peristiwa ini dikenal Kudatuli, akronim “(Kerusuhan) Peristiwa 27 Juli.”
Komisi Nasional untuk Hak Asasi Manusia menyatakan kerusuhan itu mengakibatkan 5 orang tewas, 149 orang luka, dan 23 orang hilang. Kerugian materiil mencapai Rp100 miliar.
Tetapi pemerintahan Orde Baru justru menjadikan PRD sebagai “kambing hitam”, dalang di balik serangan tersebut. Soesilo Soedarman, seorang jenderal yang menjabat Menko Polkam saat itu, menegaskan bahwa PRD sebagai “partai terlarang.” Imbasnya, seluruh pentolan PRD diburu aparat keamanan.
Thukul termasuk dalam daftar perburuan. Kondisi ini nantinya yang menentukan ia dihilangkan.
Pada 5 Agustus 1996, rumah keluarga Thukul didatangi oleh kepolisian wilayah Surakarta. Kemewahan dalam rumahnya, perpustakaan pribadi dan koleksi kaset lagu, diobrak-abrik dan dirampas pemerintah. Ada enam berkas yang dirampas, salah satunya kumpulan puisinya Mencari Tanah Lapang.
“Saya kira yang sampai sekarang tidak dikembalikan sama tentara, polisi yang merampas,” kata Wahyu.
Thukul harus sembunyi-sembunyi untuk menemui keluarganya. Untuk bersua keluarga, ia kerap menginap di Hotel Rajasa di Jalan Badrawati 2, Ngaran, Desa Borobudur, Magelang. Hotel ini hanya memiliki 10 kamar. Setiap menginap, Thukul memilih kamar nomor 8.
Nomor 8 ini mengingatkan pada sandi Letjen Prabowo Subianto. Kode 08 menjadi milik Prabowo sejak menjabat Komandan Jenderal Komando Pasukan Khusus, dari Desember 1995 – 20 Maret 1998. Dalam laporan Tim Ad Hoc Komisi Penyelidik Pelanggaran HAM Berat, 1997-1998, Prabowo diduga membuat perintah langsung dan tertulis kepada Kolonel Chairawan, Komandan Grup IV Kopassus, untuk membentuk apa yang disebut Tim Mawar. Tim ini yang berperan menculik dan menghilangkan 23 aktivis, pemuda, dan mahasiswa.
Belakangan, lewat langkah Dewan Kehormatan Perwira—dibentuk oleh Panglima ABRI yang dijabat Jenderal Wiranto—yang menyidangkan sejumlah perwira tinggi yang diduga terlibat dalam kasus penculikan, Prabowo dipecat dari jabatan Panglima Kostrad pada 23 Mei 1998.
Kejaran kaum mata-mata yang menyebar di bawah kekuasaan Soeharto, juga para serdadu Tim Mawar, mengharuskan Thukul berpindah-pindah tempat persembunyian. Setelah disembunyikan Martin, rekannya di Pontianak, Thukul kembali ke Jakarta.
“Ya, dia (Thukul) bilang hati-hati saja, itu pesan terakhir waktu kita ngobrol,” kata Wahyu.
Wahyu juga ditangkap oleh aparat Orde Baru, yang merangsek ke kantor kerja dia, Solidaritas Perempuan, di bilangan Jakarta Timur, pada 31 Agustus 1996.
Dua puluh tahun kemudian, saat ditanya soal peristiwa itu, Wahyu mendadak diam. Kepalanya menunduk. Selang 2 menit barulah ia meminta maaf, enggan menjelaskan lebih detail. Itu pengalaman traumatis.
Semula, usai Soeharto lengser dan negara Indonesia bergerak dalam jalur demokrasi, ada 12 orang yang dinyatakan hilang. Sementara kabar Thukul menghilang diketahui belakangan; ia menjadi bagian ke-13 korban penghilangan paksa oleh rezim Soeharto menjelang keruntuhannya. Pada 2000 keluarga dan kalangan penyintas melaporkan nama-nama sanak keluarga yang diculik kepada Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS).
Sampai sekarang, 19 tahun usai gelombang penculikan itu, ke-13 nama orang hilang ini belum ditemukan.
Utang Pemerintah pada Kasus Kejahatan Kemanusiaan
Panitia Khusus (Pansus) Orang Hilang DPR menghasilkan rekomendasi penting terkait kasus 13 orang hilang pada 1997-1998. Pansus itu dibentuk setelah DPR menerima laporan dari Komnas HAM pada 7 Desember 2006. Memang tudingan mengarah pada Prabowo Subianto sebagai dalang penculikan aktivis, tapi atas mandat Pansus, pemerintah seharusnya menggelar pengadilan HAM berat masa lalu.
“Kalau di penyelidikan kita, kan, cuma baru dugaan atas pelanggaran HAM. Banyak orang menunjuk ke Prabowo. Tapi itu kan hanya pengadilan yang bisa membuktikan benar atau tidaknya,” kata Muhammad Nurkhoiron, Komisioner Subkomisi Pendidikan dan Penyuluhan Komnas HAM.
Di sidang paripurna 28 September 2009, rekomendasi Pansus dibacakan. Sejumlah poin rekomendasi: Presiden Susilo Bambang Yudhoyono membentuk Pengadilan HAM Ad Hoc; presiden serta segenap institusi pemerintah serta pihak-pihak terkait segera melakukan pencarian terhadap 13 orang; pemerintah merehabilitasi dan memberikan kompensasi kepada keluarga korban yang hilang; pemerintah segera meratifikasi Konvensi Anti-Penghilangan Paksa.
Tidak ada satu pun dari rekomendasi itu dijalankan pemerintah, bahkan di bawah pemerintahan baru sekarang Presiden Joko Widodo.
“Kalau penyelesaian pelanggaran HAM berat itu tidak ada kata terlambat. Justru tidak boleh dilupakan. Kalau enggak rezim ini, ya rezim ke depan tetap akan ditagih oleh sejarah untuk segera menyelesaikan,” kata Nurkhoiron.
Todung Mulya Lubis, Ketua Umum Ikatan Advokat Indonesia (Ikadin), menilai bahwa Pengadilan HAM Ad Hoc bukan jadi program kerja serius pemerintahan Jokowi.
“Saya tidak melihat soal pengadilan HAM Ad Hoc itu ditanggapi dengan sangat sungguh-sungguh oleh pemerintah. Jadi saya enggak mau komentar lah soal itu,” katanya usai penayangan perdana film Istirahatlah Kata-Kata, 16 Januari lalu.
Todung mengingatkan kembali, ada banyak pelanggaran HAM masa lalu yang tak kunjung dituntaskan oleh pemerintah. Ia berujar, sudah seharusnya pemerintah tak berhenti untuk meneruskan hasil rekomendasi Pansus DPR. Sebab merupakan kewajiban negara untuk melindungi HAM warganya.
“Ada utang yang mesti dibayar oleh pihak pemerintah,” tegasnya.
Tapi keadilan di Indonesia tak kunjung terang bagi para korban dan penyintas kejahatan kemanusiaan di masa lalu.
Meski pasang badan sebagai salah satu bidan kelahiran demokrasi, pemerintah mengabaikannya. Juga nasib Thukul. Hingga kini kita tidak tahu keberadaan Thukul.
Sumber: Disadur dari beberapa media termasuk tirto.id dengan tujuan menambah pengetahuan pembaca Piramida.id