PIRAMIDA.ID- 76 tahun berselang, mural telah berubah menjadi hal yang mengganggu bahkan dilarang. Padahal, mural menyimpan banyak cerita dibeda generasi. Tan Malaka menjadi pionir dengan menjadikan mural sebagai senjata untuk melecutkan semangat perjuangan bangsa Indonesia yang baru merdeka.
Tahun 1945, disepanjang jalan penuh dengan tulisan moral dan perjuangan. Harry Poeze dalam bukunya berjudul Tan Malaka, Gerakan kiri, dan revolusi Indonesia: Agustus 1945-Maret 1946, Jilid pertama yang diterbitkan tahun 2008, menjelaskan tentang situasi pasca kemerdekaan. “Kota-kota mulai dipenuhi dengan pamflet dan coretan-coretan tembok, menggelorakan semangat perjuangan untuk melawan musuh” tulisnya.
Tan Malaka dianggap sebagai aktor yang menggelorakan semangat perjuangan melalui mural. Ia mengajak segenap pemuda untuk ‘menggoreskan’ pekikan kemerdekaan di tembok-tembok jalanan. Dengan bahasa Indonesia dan bahasa Inggris, kalimat-kalimat penyemangat dituliskan oleh mereka. Semua terjadi pasca Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945. Semangat nasionalisme coba dibangkitkan melalui mural.
Harry Poeze dalam tulisannya menyebutkan, “Ahmad Soebardjo meminta nasihat kepada Tan Malaka untuk melakukan propaganda dengan semboyan-semboyan menggelorakan perjuangan”. Tan Malaka kemudian melibatkan para pemuda untuk melakukan aksi mural dan coret-coret di jalanan, serta menyebar pamflet di mobil dan kereta yang bergerak ke luar Jakarta. “Semangat mati-matian ditunjukkan para pemuda untuk melawan musuh” tulisnya.
Lasarus dalam karyanya berjudul Perjuangan Seniman Lukis Pada Masa Revolusi Fisik di Yogyakarta, yang dipublikasi pada 2009, menjelaskan tentang peranan seniman lukis dalam mempertahankan kedaulatan Indonesia yang baru merdeka. “Terdapat pengaruh yang datang dari Jakarta, sampai ke Yogyakarta. Kereta api dan mobil angkutan umum datang dengan slogan perjuangan” tulisnya.
“Mural kemudian dilakukan di tembok-tembok jalan, rumah-rumah, sampai kepada toko-toko, dengan menggunakan cat minyak” tambah Lasarus. Para seniman Yogyakarta yang tergabung ke dalam Persatuan Tenaga Pelukis Yogyakarta (PTPY), melakukan aksi coret-coret di gedung kantor pos besar, tembok sepanjang Jalan Malioboro, pagar hotel Garuda, dan beberapa titik lainnya.
“Coretan dinding dibuat artistik (pelakunya seniman), bertuliskan ‘Sekali Merdeka Tetap Merdeka, Merdeka atau Mati, Lebih Baik Mati Daripada Dijajah Lagi, Pertahankan Bendera Kita!‘”, tulis Lasarus.
Selain mural dengan pekikan semangat berbahasa Indonesia, dibuat juga mural berbahasa Inggris. Ekspresi luapan semangat bertuliskan Away with NICA, We Fight for Democracy, Once Free Forever Free, We Have Only to Win!, Life, Liberty and Persuit to Happiness, tergambar dihampir seluruh penjuru Kota Yogyakarta.
Mohammad Yamin, selaku pelaku sejarah, mengenang dalam Proklamasi dan Konstitusi Republik Indonesia terbitan 1952, tentang slogan yang mengena baginya dan mungkin sebagian besar yang membacanya. Menurutnya, coretan bertuliskan Respect Our Constitution, August 17! merupakan coretan dengan makna mendalam, mengingat adanya upaya Belanda dan Sekutu untuk kembali ke Indonesia pasca konstitusi 17 Agustus telah berdiri tegap.
Tulisan tersebut, mengandung arti teriakan bangsa Indonesia kepada Jepang dan Belanda-Inggris untuk menghargai dengan tidak melanggar konstitusi. “Teriakan ini berisi peringatan kepada Belanda-Inggris yang hendak mendaratkan kapalnya untuk melakukan agresi” tulis Yamin.
Coretan-coretan dinding menjadi bukti gelora semangat segenap bangsa di tahun 1945-1946. Nasionalisme tergambar pada goresan cat minyak yang tertuang menggoretkan setiap hurufnya. Menandakan semangat perjuangan, begitu juga saat tiba Belanda-Inggris mengancam kedaulatan, segenap bangsa telah sepakat dengan persatuannya melawan mereka sampai titik darah penghabisan.(*)
National Geographic Indonesia